REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedekatan dengan partai (party ID) dinilai sebagai faktor penting yang menyebabkan politik uang semakin marak. Ketidakdekatan pemilih dengan parpol membuat pemilih semakin toleran terhadap politik uang.
Kesimpulan itu sesuai dengan hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia. Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi mengatakan, hanya 14,3 persen responden yang menyatakan memiliki kedekatan dengan parpol.
"Tapi kecenderungannya semakin turun, terakhir kedekatan dengan parpol hanya 10 persen. Artinya swing voters meningkat, dan swing voters itulah yang membuat biaya politik mahal," kata BUrhanuddin di Jakarta, Kamis (12/12).
Memang, lanjut Burhanuddin, faktor yang menyebabkan maraknya politik uang tidak hanya kedekatan pemilih dengan partai. Politik uang dipengaruhi faktor pendidikan, pendapatan, dan pengalaman pemilih ditawari politik uang.
Namun, hasil survei memerlihatkan, perilaku pemilih yang menerima politik uang mencapai 43 persen. Sementara, pemilih yang memiliki kedekatan dengan partai cenderung menolak pemberian politik uang.
"Party ID menurunkan kecenderungan perilaku politik uang. Sementara pemilih pengambang menjadi segmen yang paling gampang dimanfaatkan untuk setiap praktik transaksional politik," ujarnya.
Ketidakdekatan dengan parpol mengakibatkan, pemilih rentan dimobilisasi dan dimanfaatkan melalui poliitk uang. Meski tidak semua penerima politik uang memilih calon yang memberi uang atau barang. Tetapi, politik uang tersebut otomatis menyebabkan biaya politik semakin mahal.
"Itu sebabnya setiap pemilu hasilnya ganti-ganti terus. Karena swing voters-nya tinggi, karena di Indonesia pemilihnya labil, galau," jelas Burhanuddin.
Untuk menekan politik uang, menurutnya, parpol harus meningkatkan kinerja. Sehingga bisa membangun kedekatan dengan pemilih yang cenderung pragmatis terhadap politik dan parpol.
"Kalau partai gak berbenah, pemilih akan semakin menjauhi parpol. Dan biaya politik semakin mahal," kata dia.