REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) menyisakan pekerjaan rumah untuk Mahkamah Agung (MA) di 2014 ke depan. Persoalan tersebut menyangkut mekanisme perekrutan hakim sebagai pejabat negara, bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Ketua KY Suparman Marzuki mengatakan, kordinasi antara KY dan MA mulai membaik. Bahkan, dalam menyikapi pelanggaran hakim, pelaksanaan serta kinerja kedua lembaga tersebut dinilai efektif. Namun, dalam satu hal, kata dia, belum dianggap cocok.
"Kami secara intensif mendorong MA membuat mekanisme perekrutan hakim sesuai standar pejabat negara sejak Juli 2013. Hanya belum mendapat respon," kata Suparman kepada Republika di Jakarta Pusat, Senin (23/12).
Padahal, katanya, KY sudah berupaya maksimal. Mulai dari mengirimkan surat, audiensi dan bicara dengan Kementerian PAN RB. Namun memang perlu kesepakatan KY dan MA untuk mengatur bagaimana formulasi perekrutan tersebut.
Sejumlah hakim MA memang masih menganggap profesi tersebut PNS. Sedangkan dari segi gaji dan fasilitas yang disediakan, mereka selayaknya dianggap pejabat negara sehingga membutuhkan seleksi perekrutan khusus.
"Tidak ada PNS yang dapat fasilitas seperti hakim. Mungkin terhambat karena hakim agung MA belum selesai merumuskannya," ujar dia.
Sepanjang 2013 KY telah menerima 2.046 laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Dari jumlah tersebut, telah dilakukan pemeriksaan terhadap hakim sebanyak 252 kali. Sekitar 115 hakim direkomendasikan mendapat sanksi.
Menurut dia, maraknya temuan tersebut lantaran terciptanya kordinasi yang baik antara KY, MA, dan sejumlah pihak lainnya seperti KPK dan media. Sedangkan untuk potensi pelanggaran hakim, sejak dulu hingga sekarang tidak ada peningkatan signifikan.
"Internal KY mulai melakukan pengawasan dengan intensitas tinggi sehingga bisa mengendus indikasi prilaku hakim, dan membaiknya kinerja dan kerja sama antarlembaga," kata dia.