REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panglima TNI Jenderal Moeldoko meluruskan pernyataan yang dinilai disalahartikan oleh sebagian masyarakat dalam mendukung langkah taktis Angkatan Bersenjata Australia terkait manusia perahu atau pencari suaka.
"Saya ingin meluruskan konteksnya kan begini dua minggu yang lalu Panglima Angkatan Bersenjata Australia menelepon saya untuk melaksanakan kebijakan pemerintahnya dalam menjaga di perbatasan mencegah datangnya manusia perahu," kata Moeldoko usai Rapat Pimpinan TNI-Polri di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Kamis.
Moeldoko menjelaskan percakapannya dengan Panglima Angkatan Bersenjata Australia Jenderal David Hurley yang akan mengembalikan manusia perahu meskipun menaiki kapal Indonesia.
"Dia bilang nanti seandainya perahu, kru maupun kaptennya dari Indonesia, dia akan mengembalikan arahnya ke Indonesia. itu konteksnya, lalu jawaban saya apa, bukan menyetujui, saya memahami langkah-langkah taktis itu," katanya.
Dia mengatakan berdasarkan Deklasari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), setiap negara berhak melindungi atas kedaulatan wilayahnya.
"Jika saya seperti itu, saya berproyeksi akan melakukan hal yang sama. Saya tidak bicara tentang politik luar negeri, saya berbicara tentang taktis di lapangan. Jangan dibelokkan kanan kiri, dibilang Panglima TNI menyetujui atau Penglima TNI memfasilitasi," katanya.
Jenderal bintang empat itu menegaskan konteks percakapan tersebut dalam bentuk diskusi, pihak Australia meminta izin kepada panglima TNI.
"Saya memahami langkah taktis itu, saya hargai bukan menyetujui," katanya.
Dia juga menekankan langkah TNI selalu beriringan dengan kebijakan politik negara dan tidak berseberangan apalagi tidak kompak.
"Panglima TNI selalu 'online' dengan politik dan kebijakan negara karena Panglima TNI tidak mau kanan dan kiri, jadi kalau ada salah pemberitaan mohon diluruskan," katanya.
Hal itu menyusul banyaknya tanggapan dari berbagai pihak bahwa Panglima TNI mendukung langkah taktis Angkatan Bersenjata Australia dalam pernyataannya beberapa waktu lalu.
Pernyataan tersebut juga dipertanyakan oleh Guru Besar Hukum Internasional FH UI Hikmahanto Juwana.
"Pernyataan Panglima ini aneh dan tidak berpihak pada kepentingan Indonesia," kata Hikmahanto.
Menurut dia, para pencari suaka seharusnya dihormati hak-haknya sebagai pengungsi. Mereka ingin sampai ke Australia dengan selamat. Oleh karenanya tidaklah tepat bila otoritas Australia harus menghalau mereka ke Indonesia.
Dia menjelaskan Australia adalah negara peserta Konvensi tentang Pengungsi 1951. Berdasarkan Konvensi ini maka Australia wajib menyaring di wilayahnya apakah seseorang pantas disebut sebagai pengungsi, pencari suaka atau imigran gelap (illegal immigrant).
"Kata-kata Panglima TNI yang mengatakan "bila tugas menghalau kapal pencari suaka diproyeksikan ke saya, saya juga akan melakukan hal yang sama" Pernyataan ini sama sekali tidak mencerminkan kepentingan Indonesia," katanya.
Hikmahanto menilai Panglima TNI yang merujuk pada Deklarasi PBB terkait dengan kedaulatan tidak relevan karena Deklarasi PBB dalam hukum internasional tidak masuk dalam sumber hukum internasional.
"Lalu pengutipan Deklarasi PBB untuk apa? Pengutipan tersebut justru memperlemah posisi Indonesia dihadapan Australia dalam penanganan masalah pencari suaka," katanya.