REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Sebuah restoran Prancis yang beroperasi di ibu kota Pakistan, Islamabad, telah membuat gempar masyarakat di negara itu. Ini lantaran tempat makan tersebut menerapkan kebijakan apartheid (rasis) terhadap para pelanggannya.
La Maison, nama restoran itu, mulai dibuka pada Oktoboer lalu sebagai bisnis swasta yang berada di lantai dasar sebuah rumah milik seorang pria bernama Lafforgue. Tempat ini dengan terang-terangan menolak akses bagi warga asli Pakistan.
Menurut ‘aturan’ yang berlaku di restoran tersebut, mereka yang bisa masuk hanyalah para pemegang paspor asing. Kasus diskriminasi ini kemudian diekspos ke publik oleh salah seorang wartawan Pakistan, Cyril Almeida. Ia mulai meluncurkan kampanye protes terhadap restoran tersebut lewat Twitter pada Desember lalu.
Kepolisian Pakistan yang mendapat laporan ini lantas melakukan penyelidikan. Instansi itu mengirim dua perwira mereka untuk mengunjungi restoran tersebut sebagai ‘orang biasa’. Ternyata, apa yang dibeberkan Almeida memang benar. Kedua aparat tadi ternyata juga diusir oleh sang pemilik restoran karena alasan, mereka bukan warga asing.
“Tak butuh waktu lama, polisi Pakistan pun kemudian menggerebek restoran itu dan menutupnya,” tulis sebuah laporan yang dikutip dari World Bulletin, Jumat (10/1). Disebutkan pula, restoran tersebut juga menjual produk-produk yang dilarang oleh agama Islam dan hukum yang berlaku di Pakistan. Di antaranya adalah minuman beralkohol dan makanan yang terbuat dari daging babi.
Dilansir dari Onislam.net, pemilik La Maison, Lafforgue, mengaku terkejut dengan penutupan bisnisnya ini oleh aparat setempat. Ia pun berencana untuk membuka kembali restorannya itu sebagai ‘klub pribadi’ yang terdaftar. “Kalau yang saya lakukan ini memang sesuatu yang ilegal, tentu sudah dari dulu saya dikutuk oleh para ulama dan berurusan dengan polisi,” ujar lelaki asal Prancis yang pindah ke Pakistan pada 2005 itu berkilah.