REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Ratusan aktivis Gerakan Perempuan Lampung (GPL), menggelar aksi long march hingga di Bundara Tugu Adipura, Bandar Lampung, Senin (13/1) petang. Mereka menuntut hak berjilbab bagi perempuan.
Aksi ini berlangsung menyusul telah terjadinya dua kasus soal pelarangan perempuan berjilbab di Indonesia. GPL terdiri dari aktivis Muslimah KAMMI, PII Wati, FKAR, FORKAPMI, dan Salimah.
Istika, koordinator GPL, mengatakan aksi ini langkah awal dalam melakukan proses advokasi atas pelarangan jilbab di Indonesia, "Setidaknya ada dua kasus yang sudah mencuat ke permukaan," katanya dalam rilisnya, Senin (13/1).
Pertama, keputusan Polri membuka wacana bolehnya polisi wanita (polwan) untuk memakai jilbab ketika bekerja. Hal ini tidak hanya dilakukan di Nanggroe Aceh Darussalam dimana memang ada kewajiban berjilbab bagi perempuan, tetapi juga di seluruh Indonesia. Namun, kata dia, sampai sekarang, aturan operasional yang mengatur bagaimana pelaksanaan teknis jilbab untuk polwan belum kunjung keluar.
Akhir Desember 2013, Wakapolri Oegroseno menerbitkan telegram yang menangguhkan legalisasi penggunaan jilbab bagi polwan. Alasannya belum adanya kesepakatan teknis, termasuk juga anggaran, mengenai bagaimana jilbab untuk polwan itu akan dibuat.
Kasus kedua, pelarangan jilbab di beberapa SMA di Bali. Pelarangan jilbab ini dilakukan melalui aturan sekolah, yang beberapa isinya mengharuskan siswa untuk memakai rok dan melarang penggunaan seragam sekolah di luar itu. Imbasnya, siswi yang ingin memakai jilbab di sekolah harus menerima ancaman pelanggaran peraturan sekolah.
Menurut dia, tentu saja kedua hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang sudah dijamin oleh UUD Pasal 28 dan 29. “Ini hanya langkah awal dari kami, karena selain ini kami juga menggalang dukungan ke sekolah-sekolah, OKP, ormas, dan stakeholder terkait, yang diakomodasi melalui wadah petisi online change.org,” ujar Istika.