REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Perusahaan pertambangan, PT Mifa Bersaudara, menolak memberikan kompensasi 6,6 persen dari harga jual produksi batu bara kepada Pemerintah Provinsi Aceh, karena dinilai tidak realistis.
Senior Manager External Relations PT Mifa Bersaudara Gunawan Adnan saat dihubungi dari Banda Aceh, Selasa (14/1) mengatakan, selain donasi ke Pemerintah Aceh, perusahaan juga diwajibkan memberikan dana ke pemerintah pusat lima persen.
Selain itu, perusahaan juga memberikan satu persen untuk program tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibelity/ CSR).
"Bila kebijakan ini tidak direvisi Pemerintah Aceh, maka kami akan akan menghentikan produksi batu bara. Kebijakan ini sangat memberatkan bila harus menyetor dengan jumlah 12,6 persen," katanya.
Gunawan menjelaskan, pada 2013, Mifa Bersaudara menargetkan produksi 105 juta ton batu bara, namun yang tercapai hanya 16 persen. Hal itu disebabkan adanya gangguan nonteknis seperti cuaca dan persoalan di tengah masyarakat.
Katanya, perusahaan hanya mampu memberikan kompensasi dua persen atau dengan keseluruhan donasi 7,5 hingga 8,1 persen dari hasil harga jual produksi. Karena bila melewati 8,5 persen, maka akan mempengaruhi keamanan modal.
Ia menjelaskan, jumlah kompensasi dibebankan secara keseluruhan adalah 12,6 persen, sehingga pihaknya mengancam akan menghentikan produksi dan tidak dapat dibayangkan berapa banyak warga Aceh akan kembali jadi pengangguran.
"Kami hanya mampu dua persen. Seharusnya Pemerintah Aceh tidak mematok 6,6 persen karena produksi bisa saja tidak sesuai target. Angka ini bukan dari keuntungan, tetapi dari seluruh hasil jual produksi perusahaan," imbuhnya.
Lebih lanjut dikatakan, kebijakan Pemerintah Aceh sangat tidak realistis dan memberatkan patut bila ditentang. Sebab, perusahaan membangun kawasan konsesi tambang tidak mudah dan gratis, tetapi mengeluarkan modal besar.
Ia mengatakan, sudah ada dua perusahaan pertambangan berdekatan dengan mereka di wilayah Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya seperti PT IPE dan AJB sudah angkat tangan dan tidak lagi berproduksi akibat karena kebijakan itu.
Oleh sebab itu pihaknya mendesak Pemerintah Aceh segera merevisi kebijakan angka 6,6 persen menjadi dua persen, agar perusahaan tidak ikut menghentikan produksi batubara yang berdampak pada perekonomian masyarakat.
"Pemerintah Aceh harus lebih objektif dalam memberikan kebijakan soal tambang karena ini juga menyangkut perekonomian masyarakat," katanya menambahkan.