REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu peserta Konvensi Capres Partai Demokrat, Ali Masykur Musa, mengatakan silang sengkarut harga elpiji disebabkan inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam berbagai bentuk peraturan yang dibuatnya sendiri.
Pernyataan Ali Masykur Musa, yang juga ketua umum PP ISNU, disampaikan dalam Diskusi Panel Ahli PP ISNU bertema LPG Naik, Salah Siapa? di kantor PBNU, Selasa (14/1). Diskusi menghadirkan narasumber Ali Mundakir (VP Corporate Communication Pertamina), Said Didu (Mantan Sekretaris Menteri BUMN), dan Darmawan Prasodjo (Pengamat Energi).
Ali Masykur, yang juga anggota BPK ini, menyebutkan beberapa isyarat inkonsistensi pemerintah. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi pada uji materi UU Migas No 22/2001 tahun 2004 telah membatalkan Pasal 28 ayat (2) tentang liberalisasi harga BBM/BBG.
Namun, peraturan turunan yang dibuat terus mereproduksi konsep liberalisasi harga BBM/BBG. Salah satunya adalah Permen ESDM No 26/2009 tentang Penyedian dan Pendistribusian LPG. Pasal 25 Permen tersebut memberikan kewenangan kepada Badan Usaha untuk menetapkan harga LPG non-PSO sesuai harga patokan LPG.
Karena aturan ini yang diikuti, Pertamina menggunakan CP Aramco, harga patokan yang berlaku di pasar Asia Pasifik. CP Aramco adalah harga perolehan Pertamina saat mengimpor atau membeli bahan baku LPG dari produsen dalam negeri. Dengan harga patokan ini, selisih biaya pengadaan yang kian tinggi dengan harga jual yang konstan sejak 2009 menjadi kerugian yang harus ditanggung perusahaan sejak 2008 hingga 2013, dengan total kerugian selama 5 tahun mencapai Rp 21,8 triliun.
Kedua, melalui UU Migas No 22/2001, Pertamina telah dirombak menjadi BUMN berbentuk perseroan dan tunduk kepada UU No 1/1995 tantang Perseroan Terbatas dan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menyebutkan bahwa orientasi kegiatan dari perseroan adalah untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.
Artinya, Pertamina harus untung dan jika rugi berarti melanggar Undang-Undang. Ketika nyata bahwa bisnis elpiji komersial Pertamina rugi dan korporasi berusaha menekan kerugian dengan menaikkan harga, seluruh stakeholders mulai dari Pemerintah hingga DPR berdalih bahwa BUMN tidak boleh hanya berpikir mencari untung, tetapi harus menjalankan fungsi pelayanan hajat orang banyak.
Padahal, menurut UU Migas, Pertamina tidak lagi mengemban fungsi tanggung jawab pelayanan publik (PSO) setelah masa transisi berakhir pada November 2005. Kalau pun Pertamina saat ini menjalankan PSO, itu diperoleh dengan mekanisme tender biasa dan Pertamina selalu memenangi tender karena infrastrukturnya yang paling siap.