Kamis 30 Jan 2014 15:41 WIB

SBY Jelaskan Soal Barter Jabatan dengan Boediono

Rep: Esthi Maharani/ Red: Karta Raharja Ucu
Presiden Yudhoyono
Foto: ant
Presiden Yudhoyono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden SBY membantah dan menjelaskan kabar terkait barter jabatan untuk Wakil Presiden Boediono.

Di halaman 133 buku terbarunya, 'Selalu Ada Pilihan', Presiden SBY menilai fitnah tersebut tak kalah seru dengan fitnah lainnya bahkan cenderung kreatif.

"Pada saat Pak Boediono, Gubernur BI waktu itu, memutuskan untuk melakukan penyelamatan Bank Century di akhir November 2008, dikatakan seseorang bahwa sayalah yang memintanya. Dengan imbalan Pak Boediono akan saya jadikan wakil presiden pada pemilihan presiden tahun 2009, atau tahun depannya. Lebih lanjut sang juru fitnah itu mengatakan bahwa tindakan itu termasuk gratifikasi. Coba, kreatif kan?" tulisnya di buku setebal 824 halaman itu.

Ia lantas menceritakan awal mula Boediono-lah yang dipinang sebagai wapres. Ia mengatakan, Boediono dipilih setelah ia meminta Saiful Mudjani untuk melakukan survei siapa-siapa yang patut dipertimbangkan untuk mendampinginya.

Survei pun baru dilakukan sekitar April hingga Mei 2009, ketika Partai Demokrat bisa mengusung calon presidennya sendiri tanpa bergabung dengan partai lain. 

Metode yang dilakukan untuk menjaring sosok potensial cawapres itu disamping survei terhadap masyarakat juga ada jajak pendapat untuk kelompok menengah ddan juga diskusi dengan para 'opinion leaders'.

Diskusi dengan para 'opinion leaders' dilakukan di enam kota besar yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Awal Mei 2009, keseluruhan jajak pendapat itu selesai dilaksanakan.

"Hasilnya, dari sekian banyak calon yang disurvei, Pak Boediono-lah yang nilainya paling tinggi. Hasil resmi survei calon wakil presiden itu hingga kini masih saya simpan dengan rapi sebagai dokumen sejarah," katanya.

Setelah itu, ia pun mulai mengundang Boediono ke kediamannya di Cikeas untuk berbincang. Saat pertama kali ditawari menjadi cawapres, Boediono tidak bersedia. Namun, sekitar satu pekan kemudian diajak berbicara hal yang sama, Boediono mulai berpikir. Boediono pun meminta izin untuk berkonsultasi dengan keluarga.

"Tentu saya tidak perlu menceritakan apa yang terjadi setelah itu. Semuanya telah menjadi bagian dari sejarah kita. Cuma, kalau semua pihak mengetahui sejarah dan proses saya memilih Pak Boediono sebagai calon wakil presiden dulu, yang difitnahkan kepada saya dan Pak Boediono, itu sungguh keterlaluan," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement