REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produksi beras pada tahun politik diakui cenderung mengalami kenaikan. Pemerhati Pertanian, Khudori tidak ingin menyebut sebagai pencitraan publik dari pemerintah.
"Memag nggak mudah menjustifikasi ada main main," katanya, Sabtu (1/2).
Menurut dia, kalau dilihat dari data produksi beras ketika tahun poltik memang ada yang dicurigakan. Ia memberi contoh, tahun 2004, misalnya, ada kenaikan 3,74 persen dalam produksi beras. Selanjutnya, pada 2009, produksi beras naik 6,7 persen.
Kenaikan memang cukup tinggi. Bahkan, jika dipakai data range yang panjang sejak 80'-an, Indonesia memiliki prestasi dalam peningkatan produksi beras hingga 4 sampai 5 persen.
"Ketika tahun pemilu memanag tinggi dan memang tidak mudah untuk bicarakan ada permainan. Atau tidak," kata Khudori.
Khudori mengatakan, dalam mendapatkan angka produksi nasional didapatkan dua instansi. Yang pertama dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang secara global mengumpulkan produktifitas dan yang kedua oleh Kementerian Pertanian yang mengumpulkan luas panen.
"Nanti dikalikan barulah dapat hasil produksi nasional, tapi bagi saya dalam proses pengumpulannya sudah bermasalah. Sehingga dalam proses output-nya sudah pasti salah," katanya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai merilis impor beras dengan pos tarif atau HS 1006.30.99.00 asal Vietnam. Jumlahnya sebanyak 83 kali impor dengan keterlibatan 58 importir selain Perum Bulog. Total kuota yang diberikan Kemendag sebanyak 16.900 ton melalui Pelabuhan Tanjung Priok dan Belawan.
Namun, terungkap bahwa ada laporan beredarnya beras nonkhusus yang datang dari Vietnam. Ditjen Bea Cukai mengklaim beras itu legal karena mengantongi SPI dari Kemendag. Sementara Kemendag mengklaim menerbitkan SPI karena ada rekomendasi dari Kementan melalui Dirjen P2HP.