REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sore itu, Selasa (11/2), Gedung Balai Pemuda di Kota Surabaya, Jawa Timur, cukup ramai dikunjungi masyarakat.
Mereka tampak hilir mudik di salah satu bagian gedung.
Para pengunjung terdiri atas berbagai kalangan. Mereka terdiri dari anak kecil, pelajar berseragam, mahasiswa maupun kaum muda berusia dua puluhan, pekerja, ibu rumah tangga hingga lanjut usia.
Raut wajah mereka tampak antusias dan serius. Ada apa gerangan? ternyata mereka adalah pengunjung Rumah Bahasa.
Ya, sejak Selasa (4/2) lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya meresmikan Rumah Bahasa dalam rangka agar masyarakat Surabaya siap menghadapi Kawasan Perdagangan Bebas (AFTA) 2015.
Di rumah bahasa, masyarakat dari berbagai kalangan dan usia dapat belajar tiga bahasa asing, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, dan Bahasa Mandarin secara cuma-cuma.
Tidak hanya itu, peserta didik juga bisa belajar komputer tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Atau jika memang tidak ingin belajar, warga bisa membaca koleksi buku-buku yang ada di lobi rumah bahasa.
Pengunjung bisa membaca buku-buku tersebut sambil santai di sofa empuk berwarna biru.
Di sebelah ruang baca rumah bahasa, ada satu ruangan besar yang ternyata untuk kelas-kelas belajar. Meja di kelas itu berwarna hitam dan berbentuk bundar.
Di depan meja itu, ada papan tulis berwarna putih. Hari itu tampak seorang guru bahasa Mandarin sedang mengajar. Sebanyak 10 orang yang terdiri dari berbagai kalangan tampak antusias mengikuti pelajaran.
Ini terlihat dari deretan kursi yang penuh. Ada kakek-kakek, kaum remaja, pemuda, hingga ibu-ibu yang serius memperhatikan pelajaran. Guru Bahasa Mandarin itu tampak bersemangat meski kelas terdengar cukup bising karena bercampur dengan klinik investasi, klinik ketenagakerjaan, hingga klinik perdagangan dan jasa.
Adalah Jenny Astrea (28 tahun) yaitu pengajar Bahasa Mandarin di kelas itu. Perempuan berkulit putih dan berkacamata itu tampak telaten mengajari murid-muridnya. Jenny mengatakan, hari ini adalah hari pertama ia mengajar Bahasa Mandarin. Karena masih mengajari pertamakali, saya mengajar menggunakan dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Mandarin.
Saya juga harus mengajari peserta didik dengan pelan-pelan (supaya paham), katanya kepada Republika, Selasa. Apalagi, kata Jenny, peserta didiknya tidak hanya terdiri dari kaum muda tetapi ada juga lansia dan ibu-ibu yang notabene daya tangkapnya tidak semudah kaum muda.
Pengalaman itu tentu saja baru buatnya karena Jenny adalah guru Bahasa Mandarin di Sekolah Dasar (SD) Little Sun, Surabaya.
Di SD tersebut, Jenny lebih mudah mengajar Bahasa Mandarin karena siswa di sana sudah diajari Bahasa dari negeri para panda itu. Jenny merasa kendala yang dia hadapi saat mengajar di Rumah Bahasa adalah ketika mengajar satu kosa kata, sembilan orang telah memahaminya, namun ternyata ada satu orang peserta didik yang belum paham.
"Terpaksa saya berhenti, dan mengulang di bagian yang peserta itu tidak ketahui," ujarnya.
Namun meski mengalami kendala demikian, dia tetap antusias dan tidak kapok untuk mengajar kembali.
Ini karena dia melihat para peserta antusias mengikuti pelajaran dan membuatnya semakin tertantang.
Supaya suasana pengajaran Bahasa Mandarin lebih baik lagi, ia memberi masukan supaya ada kelas khusus yang memisahkan antara kelas Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris, maupun kelas pelajaran lainnya. Selain itu ruangan kelas itu jangan dicampur dengan klinik investasi, klinik ketenagakerjaan, hingga klinik perdagangan dan jasa.
"Sehingga peserta didik fokus saat pelajaran," katanya.
Selain itu, ia berharap satu kali tatap muka pelajaran diikuti maksimal 20 orang, karena jika lebih dari itu terlalu bising.
Salah satu peserta didik Rumah Bahasa bernama Ninuk Hariani (52) mengatakan, hari ini adalah hari pertama ia mengikuti program Bahasa Inggris dan Komputer. Dirinya memang sengaja mendaftar mengikuti pelajaran Bahasa Inggris dan komputer.
"Saya mengikuti program Bahasa Inggris dan komputer untuk menambah pengetahuan," ujarnya.
Dia menjelaskan, profesinya sebagai guru tari di SD Pacar Keling membuatnya harus menguasai Bahasa Inggris.
Ini karena bisa saja ada bule atau orang asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia namun mengunjungi sekolahnya untuk berbicara dengannya membicarakan tarian yang dibawakan Ninuk. Selain itu, Bahasa Inggris dipandangnya penting karena bisa saja ada rekannya yang mengajaknya berbisnis.
Yang juga tidak kalah penting, dengan menguasai Bahasa Inggris akan menambah nilainya sebagai guru seni tari. Selain Bahasa Inggris, ia juga mengalami kendala gagap teknologi (gaptek) komputer. Untuk itu, ia memutuskan mengikuti program Komputer.
"Masak anak-anak saya bisa tetapi saya tidak bisa," ujarnya.