REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peneliti Senior PSKK UGM Prof Muhadjir Darwin mengatakan Indonesia seperti mendapat “getah” dari kebijakan Australia. Perdana Menteri Australia, Tonny Abbot mengambil kebijakan yang tidak populer yakni semua kapal pencari suaka
dihentikan dan didorong kembali ke wilayah perairan Indonesia.
Menurut Muhadjir, Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk menerima imigran gelap seperti pencari suaka tersebut. "Jikapun dikembalikan ke negara asal, tentu membutuhkan biaya. Siapa yang akan menanggung biaya tersebut?, tanya Muhadjir dalam seminar bulanan bertema “Australian Refugee Policy and the Indonesia/Australia Relationship”, di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, kemarin..
Menurutnya, kebijakan yang diambil Australia itu tidak adil bagi Indonesia. Australia sepertinya hanya mengatasi masalahnya sendiri tetapi membiarkan masalah itu terjadi di negara lain. ''Itu jelas tidak adil. Apalagi, Australia sama sekali tidak memberi solusi ketika Indonesia menghadapi masalah saat pencari suaka itu didorong balik ke sini,'' ujar Muhadjir.
Karena itu, kata dia menambahkan, Australia harus mengambil langkah diplomatik. Perlu ada kesepakatan bersama yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan oleh Australia. Kebijakan yang diambil Australia justru yang konfrontatif, ditambah lagi melakukan spionase, melewati batas teritori, dan lain sebagainya.