Oleh: Nashih Nashrullah
Libur Sabtu-Ahad bukan termasuk tasyabuh atau bid'ah.
Isu perihal hari apakah yang pantas dijadikan sebagai libur nasional tiap pekan, memang bukan perkara yang hangat diperbincangkan di Tanah Air. Bahkan, tak pernah terdengar di permukaan.
Tetapi permasalahan yang sama, mengemuka dan menjadi topik panas di sejumlah negara Timur Tengah. Ini setelah pemerintah sejumlah negara tersebut, mengeluarkan kebijakan pergantian libur nasional, dari semula Kamis dan Jumat beralih ke Jumat dan Sabtu. Seperti yang terjadi di Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi.
Di negara yang terakhir, masalah tersebut menjadi polemik. Tidak hanya melibatkan agamawan, tetapi juga menyeret para ekonom dan pebisnis untuk turut angkat bicara mengomentari masalah ini.
Menurut pegiat ekonomi, penetapan libur nasional yang berbeda dengan kebanyakan negara, cukup berpengaruh pada perekonomian. Indeks saham ataupun transaksi internasional lainnya kerap ditutup di akhir pekan, yang notabene adalah Sabtu dan Ahad.
Mantan Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Sa’ud, Arab Saudi, Prof Su’ud al-Fanisan berpendapat, memang Islam tak mengenal hari libur tertentu. Hari-hari selama sepekan, hakikatnya adalah rutinitas dan bergerak.
Namun demikian, jika memang hendak menetapkan hari libur, semestinya tidak menyerupai pola libur yang berlaku di kalangan Yahudi. Dalam tradisi mereka, Sabtu merupakan hari yang suci sehingga Jumat dinyatakan libur untuk beragam bentuk persiapan.
Atas dasar ini maka penetapan itu adalah bentuk penyerupaan (tasyabuh) dengan tradisi Yahudi. “Ini tidak diperbolehkan,” ujarnya.
Prof Su’ud pun lantas mengutip sejumlah dalil, antara lain, Rasulullah SAW pernah menegur sejumlah sahabat yang “memberkati” senjata mereka di pepohonan dengan rujukan kebiasaan Yahudi. Rasul lantas melarang mereka.
Selain dalil ini, ia berargumentasi pula bahwa perubahan hari libur nasional itu, berarti mengubah pula tradisi yang baik beralih jelek. Apalagi, Kamis merupakan hari yang sarat dengan keutamaan karenanya dianjurkan berpuasa. Allah SWT berfirman, “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (QS al-Baqarah [2]: 61).
Tetapi, sekalipun ada unsur tasyabuh yang dilarang, Prof Su’ud menegaskan tidak gegabah menghukumi pelakunya—dalam konteks masalah ini—dengan label fasik bahkan kafir.