REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tidak gegabah dan memberikan persetujuan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Sebab menurut Karding sektor industri tembakau nasional merupakan sektor industri ekonomi nasional yang telah mapan. Industri tembakau nasional menurutnya terbentuk dari hulu hingga hilir dengan prosentasi penyerapan tenaga kerja kerja yang tinggi, bahan baku mandiri, tata niaga yang telah terbentuk dan merupakan penyumbang penerimaan negara cukai dan pajak yang tidak sedikit.
"PKB sudah tegas, Ketua Umum juga sudah sepakat menolak FCTC. Kami ingin menyelematkan petani dan tanaman tembakau, ini sikap partai," kata Karding di Gedung DPR, Rabu (25/2).
Karding menegaskan, PKB bukan tidak memperhatikan isu kesehatan, namun dalam ratifikasi FCTC sudah jelas akan membunuh puluhan juta orang yang ada struktur bisnis rokok atau tembakau. "Aksesi FCTC harus dilawan," ujarnya menegaskan.
Badan legislasi (baleg) DPR dikatakan Karding juga sudah meneken surat resmi yang akan dikirim ke Presiden SBY melalui pimpinan DPR. Sehingga diharapkan lebih diperhatikan Istana.
Namun, ia tidak memungkuiri di internal pemerintah beberapa kementerian ada yang tetap ngotot ratifikasi. Tapi PKB sebagai partai, tetap menolak tegas FCTC. "Kami sudah tandatangani surat yang akan dikirim ke Presiden, kami minta untuk tidak membahas apalagi meratifikasi FCTC. PKB akan berbeda sikap dengan kementerian yang setuju FCTC. Aksesi ini akan membunuh puluhan juta orang yang bergantung pada tembakau," katanya.
Peneliti Indonesia for Global Justice, Salamuddin Daeng berpendapat jika pemerintah ngotot meratifikasi, maka akan banyak aturan turunan yang pada akhirnya membatasi tembakau. Paling dirugikan tentu saja industri kretek nasional karena akan ada standarisasi.
"Argumentasi aroma di rokok kretek juga salah kaprah, misal di Amerika Serikat ada juga produk rokok mentol. Isi FCTC itu bersifat melakukan pembatasan, standarisasi dan bisa digunakan negara untuk memberlakukan kebijakan non tarif barier, menghalangi suatu barang ke suatu negara. Ini masalah perdagangan bukan masalah kesehatan," ucap dia.
Berbicara terpisah, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Nurtanio Wisnu Brata mengatakan, FCTC juga mengancam hak ekonomi 3,6 juta orang yang terlibat dalam industri terkait. "Tembakau juga tanaman unggulan petani, karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi," tegasnya.
Mereka yang terancam pencahariannya dengan aturan ini adalah 2,1 juta petani tembakau dan buruh tani, 1,5 juta petani cengkeh, buruh perajang tembakau, petani pembibitan benih tembakau dan kuli angkut. Menurutnya, penerbitan sejumlah regulasi oleh pemerintah dinilai hanya bersifat pengendalian tanpa ada strategi yang jelas untuk mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan.