REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi/Maspril Aries
PALEMBANG -- Pelestarian sumber daya air menarik perhatian Muhammadiyah. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Tarjih sejak 28 Februari hingga 2 Maret, persyarikatan Muhammadiyah menetapkan panduan fikih tentang air, terutama bagaimana melestarikan sumber daya alam ini.
Menurut anggota Majelis Tarjih Fahmi Salim, haram hukumnya bagi Muslim membuang limbah, baik limbah industri maupun rumah tangga, ke sungai. Sebab, ini akan berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan. “Air akan tercemar,” katanya, Ahad (2/3).
Masih belum muncul kesadaran menyeluruh dari masyarakat mengenai dampak buruk pembuangan limbah ke aliran sungai. Tak heran, sungai yang bisa merupakan sumber air akhirnya tercemar. Padahal, keberadaan air ini sangat berarti bagi manusia.
Bahkan semakin hari kian banyak limbah, industri, dan rumah tangga yang menggelontor dari rumah penduduk dan pabrik ke sungai. Padahal, kata Fahmi, sungai pernah menjadi bagian dari perkembangan peradaban Islam dan dunia.
Menurutnya, banyak cendekiawan yang tinggal di pinggiran sungai menghasilkan karya-karya hebat. “Kita juga tak bisa melupakan peradaban di sepanjang Sungai Nil, Mesir,” kata Fahmi. Kini saatnya umat Islam ikut serta menjaga kelestarian air.
Tak hanya soal limbah industri dan rumah tangga, Majelis Tarjih dalam panduan yang ditetapkan Munas di Palembang, Sumatra Selatan, itu mendorong umat Islam efisien dalam menggunakan air. Saat berwudhu, misalnya.
Mestinya, Muslim menjelma sebagai panutan dalam penggunaan air secara efisien. Jangan sampai, membuka keran wudhu begitu besar sehingga air yang keluar berlebihan. Rasulullah, kata Fahmi, memberikan teladan sikap hemat air dalam berwudhu.
Ini sudah ribuan tahun dilakukan. “Kita tak boleh berlebih-lebihan dalam menggunakan air meski untuk berwudhu,” kata Fahmi. Hemat air, tak hanya memenuhi teladan Rasulullah, tetapi juga secara ekonomi menguntungkan.
Tentu tak banyak biaya yang harus dikeluarkan ke perusahaan air. Fahmi mengatakan, pedoman fatwa ini bukan hanya untuk warga Muhammadiyah. Ia berharap apa yang ditetapkan Majelis Tarjih merupakan sumbangan pemikiran bagi bangsa.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menekankan, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah, pembaruan, dan ilmu pengetahuan. Karena itu, Muhammadiyah harus tampil dengan pikiran-pikiran besar untuk bangsa dan kemanusiaan.
Putusan Majelis Tarjih, kata Din, ditunggu warga persyarikatan serta bangsa Indonesia. Apalagi sejak kelahirannya, Muhammadiyah ikut menyelesaian masalah-masalah bangsa. Para ulama yang tergabung di Majelis Tarjih tak boleh seperti katak dalam tempurung.
Mereka dituntut melihat dunia luar dan perubahan yang terjadi. Jika tidak, ulama semacam ini akan ketinggalan informasi ilmu. Kemudian, mereka melahirkan pemikiran keagamaan konservatif dan statis. Din mengingatkan bahwa dunia ini berkembang.
Menurut Din, ulama seperti ini akan ketinggalan informasi ilmu. “Saya yakin kesimpulan pemikiran keagamaannya akan konservatif dan statis,” katanya. Menurutnya, dunia ini selalu berubah dan para ulama sebaiknya mengikuti perkembangan zaman.
Ia juga mengatakan, putusan Majelis Tarjih tak semata berdimensi fikih, seperti fatwa. Namun, dimensi putusan ini lebih luas. Fikih air misalnya, akan menunjukkan pandangan dunia Islam yang dianut oleh Muhammadiyah.