REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengaku terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari sekali. "Dimana letak Pelanggaran HAM dan tidak memberikan kepastian hukumnya, justru dengan memberi kesempatan PK berkali kali menjauhkan kepastian hukum, sampai kapan," kata Hatta Ali, saat melakukan pembinaan hakim di Batam, Jumat.
Hatta juga mempertanyakan sampai kapan orang bisa mengajukan PK, sebab dahulu kenyataannya pernah ada PK sampai enam kali diajukan. "Kemudian MA menerbitkan SEMA nomor 10/2009 tentang Upaya hukum PK hanya dapat diajukan sekali saja kecuali ada dua perkara yang sama tetapi putusannya bertentangan dapat diajukan PK yang kedua," ungkapnya.
Menurut dia, dengan PK lebih dari sekali, dimana rasa keadilannya karena putusan yang sudah dieksekusi masih ada PK akan terjadi ketidakadilan, dan kemungkinan ini dapat saja merembet keperkara perdata. "Karena itu menimbulkan 'justice delay'," katanya.
Hatta juga mengungkapkan MA dalam RUU MA yang baru membahas tentang bagaimana kemungkinan pembatasan penyelesaian perkara lebih sederhana bahkan tidak perlu sampai ke MA. "Ini semua adalah tujuan memberikan kepastian hukum dengan prinsip yang cepat, murah dan sederhana sesuai azas dalam UU kekuasaan kehakiman," katanya.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar yang menguji Pasal 268 ayat 3 UU KUHAP yang membatasi permohonan peninjauan kembali hanya satu kali.
Mahkamah menyatakan, Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang memuat ketentuan pengajuan PK hanya satu kali bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat keadilan tidak dibatasi oleh waktu dan hanya boleh sekali karena dimungkinkan ditemukan keadaan baru (novum) yang saat PK pertama kali atau sebelumnya belum ditemukan.
"Oleh karena itu, pengadilan yang seharusnya melindungi hak asasi manusia (HAM) tidak membatasi PK hanya sekali. Dengan membatasi PK, pengadilan telah menutup proses pencarian keadilan dan kebenaran," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Antasari Azhar menguji Pasal 268 ayat (3) KUHAP karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya terkait ketentuan yang menutup ruang mengajukan PK lebih dari sekali untuk mencapai keadilan yang dia harapkan.
Dia berdalih jika suatu perkara yang telah diajukan PK kemudian ditemukan bukti baru (novum) kasusnya terkatung-katung dalam proses penyelidikan atau penyidikan. Untuk itu, Antasari meminta MK menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berbunyi "Permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali jika dimaknai terhadap alasan ditemukannya bukti baru berdasarkan pemanfaatan iptek.