REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Transparency International Indonesia (TII) menilai praktik uang pelicin masih dianggap lumrah di Indonesia. Padahal berdasarkan hasil kajian Universitas Indonesia dan Kadin, nilai uang pelicin per tahun bisa setara nilai APBN, Rp 2400 triliun.
Dari hasil kajian terkait biaya produksi nasional, Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko mengatakan, uang pelicin itu berkisar antara 15-30 persen. Ia mencontohkan dari setiap produksi barang berharga Rp 1000, maka sekitar Rp 300 merupakan uang pelicin. "Ini kelihatannya kecil, tetapi menyebar. Akumulasi tingkat nasional itu besar per tahun," ujar dia, di Jakarta, Kamis (27/3).
Hasil kajian itu menunjukkan besaran uang pelicin dari biaya produksi di sembilan sektor strategis. Dengan perhitungan uang pelicin 30 persen, di sektor manufaktur nilainya Rp 891,87 triliun. Sektor infrastruktur Rp 258,3 triliun, pertambangan Rp 291,18 triliun, perbankan Rp 179,53 triliun, perdagangan Rp 343,68 triliun, listrik Rp 19,53 triliun, pertanian Rp 357,12 triliun, transportasi Rp 164,73 triliun, dan sektor jasa Rp 266,61 triliun.
Produk Domestik Bruto agregat Indonesia senilai Rp 8241,9 triliun. Dengan uang pelicin berkisar 30 persen, maka totalnya mencapai Rp 2472,57 triliun. Dadang mengatakan, jumlah ini sangat besar. "Setara dengan APBN kita," kata dia.
Menurut Dadang, uang pelicin per tahun bisa lebih besar dari realisasi pajak dan cukup untuk membiayai belanja pemerintah pusat. Nilai itu bisa untuk membiayai utang selama 14 tahun ke depan. Ia juga mengatakan, adanya uang pelicin ini bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. "Pertumbuhan ekonomi kita seharusnya lebih tinggi tanpa uang pelicin," ujar dia.
Dadang mengatakan, praktik uang pelicin ini seperti sudah lumrah terkait dengan pelayanan publik. Menurut dia, harus ada pengawasan dan pencegahan terkait praktik uang pelicin ini. Ia mengatakan, pencegahan praktik ini antara lain harus fokus pada sektor swasta. "Supaya mereka membangun sistem pencegahan," kata dia.
TII bersama KPK dan unsur lainnya bekerja sama untuk melakukan pembahasan praktik uang pelicin. Hasilnya muncul buku panduan "Indonesia Bersih Uang Pelicin". Ia mengatakan, buku ini akan menjadi salah satul bentuk sosialiasi kepada pihak swasta. Menurut dia, sektor swasta membangun perangkat etik atau norma di internal untuk mencegah praktik uang pelicin.
Menurut Dadang, pencegahan uang pelicin ini memang tidak bisa satu arah. Karena ia mengatakan, sektor swasta pun ada yang turut beradaptasi dengan sistem birokrasi yang korup. Bahkan, ia mengatakan, ada perusahaan yang mempunyai unit khusus untuk memberikan pelayanan pada birokrat. "Itu tugasnya memberikan entertain," kata dia.
Dadang mengatakan 'uang pelicin' ini hanya sebagai istilah. Karena praktiknya bukan melulu berupa uang. Namun ada juga dalam bentuk lain, termasuk fasilitas hiburan. Menurut dia, seharusnya pihak swasta tidak membudayakan praktik seperti itu. "Yang begitu itu harus dihilangkan," ujar dia.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, praktik uang pelicin ini memang masih terjadi. Dari sisi pemerintahan, ia mengatakan, sudah berupaya untuk melakukan pencegahan. Salah sataunya, menurut dia, dengan membangun sistem pelayanan secara online. Sehingga meminimalisasi pertemuan langsung antara masyarakat dengan petugas. "Untuk membasmi itu dengan pelayanan berbasis teknologi," kata dia.