Kamis 17 Apr 2014 08:34 WIB

UE Merujuk Islam Indonesia

Muslim Eropa/ilustrasi
Foto: flickr
Muslim Eropa/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

   

Muslim Indonesia menghormati non-Muslim menjalankan agama masing-masing.

TANGERANG – Pandangan Uni Eropa (UE) tentang masyarakat Islam tak lagi berpusat ke Timur Tengah. Mereka mulai melirik Asia Tenggara, terutama Indonesia dalam menangani keragaman agama. Apalagi Muslim di Eropa terus meningkat pascaperistiwa 11 September 2001.

Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Uni Eropa (UE), Belgia, dan Luksemburg, Arif Havas Oegroseno yang berbicara dalam sebuah seminar di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, mengatakan, sampai saat ini, jumlah Muslim mencapai 24 juta jiwa.

‘’UE sedang mengalami pencarian identitas,’’ kata Havas, Rabu (16/4). Ini membuat mereka bertanya, bagaimana menghadapi dan menangani masyarakat Islam. Di sisi lain, banyak kesamaan variabel antara Indonesia dengan UE.

Mulai dari multikulturalisme, wilayah besar, hingga isu yang berhubungan dengan demokrasi. Kesamaan ini yang membuat UE ingin belajar dari Indonesia. UE ingin mendapatkan pengalaman Islam dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Faktanya, kata Havas, Indonesia memang banyak dipuji sebagai model negara mayoritas Islam yang baik. ‘’Tapi ini tidak secara mendalam dipahami oleh UE.’’ Masalahnya, selama ini ahli Islam Indonesia ada di UE tetapi tak masuk dalam diskusi mendalam tentang Islam.

Ini yang dipandang Havas sebagai hal yang masih butuh penanganan dengan baik. Dialog lintas agama, jelas dia, sebenarnya dilakukan masyarakat UE pada level konferensi dan seminar, tapi tidak turun dan masuk dalam lapisan masyarakat serta akademisi.

Karena itu, Indonesia menggandeng universitas Islam untuk membantu mengembangkan kurikulum teologi Islam di UE. Para akademisi diajak melihat dan membuat studi masalah Muslim di UE.’’Akademisi Islam Indonesia harus ikut terlibat,’’ kata Havas.

Keterlibatan itu akan membuka jaringan sehingga nanti diharapkan bisa memberi pengaruh dalam diskusi terkait pandangan tentang Islam. Ia menuturkan, tantangan Indonesia tidak sama dengan yang dihadapi oleh UE.

Mereka bahkan memandang Indonesia lebih bagus dalam menangani  keragaman, pluralisme, dan multikulturalisme.

Havas mengungkapkan, kepala UE menyerah menanganinya tetapi Indonesia tidak. ''Saya yakin sikap baik soal multikulturalisme sudah ada dalan DNA bangsa kita.’’

Ia mengungkapkan, Indonesia memang memiliki masalah seperti korupsi, tapi itu akan hilang seiring waktu. Tapi keragaman Indonesia tidak akan hilang. ‘’Indonesia terbuka dan berdemokrasi, kita harus optimistis.’’

Menurut Havas, Indonesia juga harus keluar dari pola pikir teritorial, jangan seperti kuda yang hanya fokus pada sakitnya saat sakit. Indonesia bisa berkontribusi. Imam Besar Masjid Istiqlal Ali Mustafa Yaqub menyambut baik beralihnya pandangan UE ke Indonesia.

Termasuk ajakan UE menyusun kurikulum teologi Islam. Ia mengungkapkan ini saatnya Indonesia bisa menyampaikan ajaran Islam yang benar.

Mempromosikan moderasi Islam yang menegaskan ajaran Rasulullah SAW tidak anarkis apalagi mengajak pada aksi terorisme.

Ali menyarankan UE  mempelajari Islam dari sumber yang benar. Indonesia memang negara dengan komunitas Muslim terbesar dengan multi agama.

Ali Mustafa pernah ditanya mengapa sebagai mayoritas, Islam di Indonesia tak melakukan penindasan terhadap minoritas?

Indonesia juga dipandang minim konflik agama yang melibatkan kelompok mayoritas terhadap minor.’’Itu karena Muslim mempunyai prinsip dalam memperlakukan minoritas. Tetap menghormati non-Muslim  menjalankan agama masing-masing.’’

Itu prinsip pluralitas agama dalam Islam. Indonesia digunakan sebagai perbandingan dengan Myanmar atau India.

Ali mengamati, Islam paling pesat berkembangannya di antara agama lainnya di Eropa. Misalnya di Rusia, mayoritas Muslimnya justru warga asli.

Tidak seperti negara Eropa lain dan AS yang Muslimnya masih didominasi pendatang. Ali bersyukur saat ini negara-negara Eropa seperti Perancis sudah mengakui keberadaan Muslim yang sebelumnya dianggap warga kelas dua.

Menurut Ali, ini merupakan perkembangan bagus. Kalau ada pandangan buruk tentang Islam dan Muslim, ia meyakini hanya akan terjadi sementara akibat adanya kedengkian.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement