REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sinta Nursimah (46 tahun) merupakan sedikit dari terapis AVT profesional di Indonesia. Bersama Yayasan Aurica yang didirikannya, Sinta saat ini banyak menangani anak tuna rungu dari berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, ia juga aktif memberikan pelatihan di berbagai seminar, di rumah sakit – rumah sakit di Indonesia.
Ia mengaku kemampuannya mengenai AVT ini dipelajari ketika ia mengantarkan puterinya yang didiagnosis menderita gangguan pendengaran tingkat sangat berat atau tuna rungu mengikuti program habilitasi AVT di Australia.
Kesuksesan metode AVT yang membuat puterinya mampu lancar berkomunikasi secara verbal dan berprestasi di sekolah umum itu, mendorong Sinta untuk membantu anak-anak Tuna Rungu lainnya mengoptimalkan potensi diri mereka.
Untuk mewujudkan cita-citanya itu Sinta mengikuti kembali pendidikan sebagai terapis professional AVT tingkat lanjutan (Intermediate) di Sheperd Centre, Sydney, Australia dan tingkat Advance di Kuala Lumpur, Malaysia.
Australia dipilihnya karena menurut Sinta, Australia saat ini menjadi salah satu kiblat terapi AVT di dunia bersama dengan Toronto, Canada dan Amerika Serikat.
Bahkan menurutnya, Australia terpilih menjadi negara yang diberikan kewenangan untuk menyusun kurikulum pendidikan mengenai metode AVT yang menjadi pedoman bagi terapis di seluruh dunia. Selain itu Australia juga menjadi negara yang menerbitkan sertifikat terapis AVT professional internasional.
Dengan perannya ini, menurut Sinta Nursimah, tidak heran kalau penanganan penyandang gangguan pendengaran atau tuna rungu di Australia sangat baik.
"Yang membuat saya surprise, itu ketika ke Perth membawa anak saya terapi selama 6 bulan, saya lihat di sekolah-sekolah itu anak-anak yang punya gangguan pendengaran sudah mampu berkomunikasi dengan lancar dan orang tidak akan menyangka kalau mereka tuna rungu, kecuali didekati dan kita lihat mereka menggunakan alat bantu dengar. Itu karena mereka sudah ditangani sejak kecil," cerita Sinta.
Di Australia menurutnya metode AVT cukup dikenal berkat program pemerintah yang memberikan bantuan alat bantu dengar gratis bagi anak yang ketahuan menderita gangguan pendengaran atau tuna rungu.
“Jadi di negara tertentu ada yang namanya new born baby screening, jadi begitu bayi lahir, sebelum keluar dari rumah sakit itu, mereka diperiksa, di screening. Jika terbukti memiliki gangguan, maka dia harus segera di intervensi pakai alat bantu dengar, dan direhabilitasi paling lambat sebelum 6 bulan. “
“Tapi kalau di kita, banyak anak-anak yang punya gangguan pendengaran, banyak yang tidak terdeteksi. Jadi orang tua suka bilang, ya memang belum waktunya ngomong...dulu orang tuanya juga telat bicara dan sebagainya..dia tidak bawa anaknya ke rumah sakit untuk diperiksa”.