REPUBLIKA.CO.ID, GAZA-- Dua faksi Palestina Hamas dan Fatah sepakat untuk membentuk pemerintah persatuan pada Rabu (23/4). Upaya tersebut memicu reaksi keras Israel dan Amerika Serikat, dan dianggap mengancam pembicaraan damai Israel-Palestina.
Setelah pengumuman kesepakatan tersebut, ratusan orang turun ke jalan-jalan di Gaza untuk merayakannya. Massa mengangkat bendera dan poster Palestina. Dalam sebuah pernyataan, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan tak ada kontradiksi antara rekonsiliasi dengan upaya mencapai perdamaian dengan Israel.
Ia mengatakan, kesepakatan yang dicapai Rabu, akan membantu para perunding Palestina mencapai solusi. Sebelumnya pada 2007, Hamas merebut Gaza dari pasukan Abbas. Membuat otoritas Palestina hanya dapat menguasai Tepi Barat.
Kedua belah pihak bersikukuh mendirikan pemerintahan terpisah di wilayah mereka.Kedua belah pihak berencana membentuk pemerintah sementara dalam waktu lima pekan. Perdana Menteri pemerintahan Hamas Ismail Haniyeh mengatakan, pemilihan presiden dan parlemen harus segera diadakan selambatnya enam bulan setelah pemerintah baru terbentuk.
Rekonsiliasi dicapai pada Rabu, sebagai upaya terbaru Abbas untuk mengirim pesan pada Israel bahwa ia memiliki alternatif lain. Abbas juga mengisyaratkan dalam beberapa hari terakhir, bahwa ia akan membongkar pemerintahannya dan membebankan masalah keuangan 4 juta warga Palestina pada Israel jika pembicaraan gagal.
Upaya bersatunya Hamas dan Fatah menambah komplikasi baru pembicaraan damai Israel dan Palestina. Baik Amerika Serikat, yang selama ini menengahi pembicaraan, maupun Israel mengecam perjanjian itu. Israel dan Barat selama ini menganggap Hamas sebagai kelompok teroris.
Hamas kerap bersumpah untuk menghancurkan Israel. Hamas juga bertanggung jawab atas tewasnya ratusan warga Israel, akibat pemboman dan penembakan yang dilakukan Hamas dalam dua dekade terakhir.
Dalam respon awalnya terkait keputusan Hamas dan Fatah, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membatalkan pertemuan yang direncanakan digelar Rabu malam antara perunding Israel dan Palestina. Netanyahu juga meminta Abbas memilih, antara pembicaraan damai dengan negaranya atau rekonsiliasi dengan Hamas.
"Anda dapat memilih salah satu, saya berharap ia memilih damai. Tapi sejauh ini ia tak melakukannya," kata Netanyahu dikutip dari BBC News.
Di Washington, juru bicara Departemen Luar Negeri Jen Psaki mengatakan, AS kecewa dan terkejut dengan pengumuman yang dikeluarkan Palestina. "Sulit melihat bagaimana Israel dapat bernegosiasi dengan pemerintah yang tak percaya pada hak mereka," kata Psaki mengacu pada Hamas.
Keputusan Abbas memicu respon keras Israel. Pemimpin garis keras Israel mengutuk kesepakatan Palestina untuk bersatu. Beberapa bahkan menyerukan Netanyahu menghentikan upaya perdamaian. Televisi Israel Channel 10 melaporkan, Netanyahu akan menggelar pertemuan dengan Kabinet Keamanan Israel pada Kamis (24/4).
Mereka berencana membahas permasalahan ini. Ia juga mengatakan, ragu-ragu pertemuan perundingan damai akan digelar ke depannya. "Otoritas Palestina telah menjadi badan teror terbesar di dunia. Israel harus jelas, tak ada pembicaraan dengan pembunuh," kata kepala garis keras Partai Yahudi Naftali Bennett.
Para pejabat Palestina menanggapi dengan mengatakan, rekonsiliasi adalah masalah internal. Menurut mereka menyatukan rakyat Palestina akan memperkuat perdamaian. Abbas mengirim utusannya dari Fatah ke Gaza, untuk melakukan pembicaraan rekonsiliasi awal pekan ini.
Mereka berencana membentuk sebuah pemerintah persatuan sementara yang dipimpin Abbas. Setelahnya mereka akan menggelar pemilihan umum, untuk memilih parlemen dan presiden. Pejabat senior Fatah Azzam al-Ahmed mengatakan, mereka telah sepakat tentang segala sesuatu yang akan dibahas.
"Jadi kami akan melupakan apa yang terjadi di masa lalu," ungkapnya.
Perjanjian ini akan memperkuat posisi Abbas, yang mengontrol bagian Tepi Barat. Sementara untuk Hamas, rekonsiliasi akan membuat mereka tak lagi terisolasi.Tak lama setelah kesepakatan rekonsiliasi diumumkan, lima orang terluka dalam serangan udara Israel di utara Gaza.
Dilansir dari Arab News, serangan terjadi saat ribuan orang turun ke jalan-jalan di kota Gaza untuk merayakan rekonsiliasi. Israel mengatakan, telah menargetkan militan dan bersiap-siap untuk menembakkan roket. Pada Senin (21/4), tujuh roket diluncurkan dari selatan Israel.