Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Hukum Islam menjadi sumber utama hukum negara selain adat.
Taufik Abdullah dalam Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia menulis, definisi keislaman semakin diperteguh dan mencapai puncaknya pada abad ke-17. Pengaturan sistem kekuasaan yang sesuai pun dirintis pula.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa ada sebuah makalah dari MUI Kabupaten Aceh Timur yang menyatakan bahwa salah satu kerajaan Islam, yaitu Kesultanan Peureulak, telah mengikuti sistem yang berlaku dalam Daulah Abbasiyah (750-1258 Masehi) di Bagdad.
Ini menjadi salah satu catatan bukti tertua bahwa hukum Islam telah dinobatkan menjadi hukum kerajaan di nusantara.
Dalam hukum kerajaan tersebut, dijelaskan bahwa tugas kenegaraan dibagi menjadi lima bidang yang masing-masing dikepalai oleh seorang wazir. Kesultanan ini juga telah memiliki majelis fatwa yang tugasnya adalah mendampingi sultan dan para wazirnya tersebut.
Majelis tersebut dipimpin oleh seorang ulama yang berpangkat mufti. “Menurut makalah tersebut, sistem ini tidak mengalami perubahan yang berarti sampai dengan diintegrasikannya Peureulak ke dalam Aceh Darussalam, kecuali perubahan kecil yang kurang berarti,” tulis dia.
Taufik mengungkapkan, sebenarnya penemuan ini masih kekurangan bukti autentik untuk membenarkannya. Namun, dari sini bisa dilihat bahwa kedudukan ulama dalam kesultanan tersebut berada di luar struktur kekuasaan.
Aceh memang menjadi bahan yang menarik untuk kita pelajari dalam melihat pasang surut kedudukan hukum Islam dalam sebuah ketatanegaraan. Syekh Nuruddin ar-Raniri menuliskan dalam Bustanus Salatin bahwa kedudukan seorang ulama memanglah bukan pejabat yang merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat askriptif, namun mereka menjadi kepercayaan sultan.
Ini dibuktikan pada saat Sultan Iskandar Muda ingin menunjuk penggantinya, ulama dipanggil dan didengarkan pertimbangannya.