Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Kedudukan ulama di Aceh adalah sebagai penasihat.
Sebesar apa pun pengaruhnya, posisinya berbeda dengan para ulama di Jawa yang sekaligus bisa menjadi penguasa kerajaan. Seperti Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, dan keluarga ulama lainnya.
Antropolog yang bekerja pada pemerintah kolonial Belanda, Snouck Hurgronje, dalam bendelan tulisannya yang berjudul Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya mengungkapkan, Kesultanan Aceh sebenarnya telah beberapa kali mencoba menambahkan unsur keulamaan ke dalam tatanan kerajaannya.
Ulama menjadi sebuah status sosial yang berdasarkan atas kriteria keunggulan ilmu agama, karakteristik pribadi, dan pengakuan masyarakat. “Sayangnya, usaha untuk memasukkan status ulama ke dalam struktur kekuasaan resmi ini selalu gagal,” tulis dia.
Posisi ulama selalu di luar struktur resmi kerajaan. Namun, kebanyakan orang yang dipercaya sebagai eulubalang, yaitu sebagai penguasa daerah, adalah seorang ulama. Dengan jabatan ini, ia bisa mendapatkan hak-hak yang melakat padanya, seperti pemilikan tanah, hak waris, dan lain sebagainya.
Sosok Sultan Iskandar Muda yang memerintah Kerajaan Aceh merupakan salah seorang penguasa kerajaan yang telah berhasil menerapkan sistem politik dengan berdasarkan atas ajaran Islam.
Denys Lombard dalam bukunya, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), menjelaskan berbagai bukti dimasukkannya unsur Islam dalam perundang-undangan dan tata pemerintahannya.
“Hingga abad ke-19, Aceh masih mengenal peraturan-peraturan yang usianya sudah sangat tua, yang dianggap berasal dari pemerintahan Iskandar Muda,” tulis dia. Naskah tersebut kemudian dikenal dengan “Naskah Adat Aceh”.
Dalam bukunya tersebut dipaparkan isi per bagian dari naskah tersebut. Bagian pertama berjudul “Perintah Segala Raja-Raja” atau dalam bahasa setempat disebut Mabain as-Salatin. Mabain sendiri merupakan istilah yang kerap dipakai oleh Kesultanan Turki Usmani yang artinya “ruang penghadapan”.