Rabu 30 Apr 2014 21:45 WIB

Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Anggoro

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Bilal Ramadhan
 Tersangka kasus dugaan korupsi proyek Sistem Radio Komunikasi Terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan, Anggoro Widjojo menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (23/4). ( Republika/Wihdan)
Tersangka kasus dugaan korupsi proyek Sistem Radio Komunikasi Terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan, Anggoro Widjojo menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (23/4). ( Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk menolak keberatan penasihat hukum (eksepsi) Anggoro Widjojo. Jaksa menilai surat dakwaan sudah tepat dan sah untuk memeriksa dan mengadili bos PT Masaro Radiokom itu.

"(Mohon majelis hakim) menolak keberatan atau eksepsi yang diajukan penasihat hukum terdakwa Anggoro," ujar jaksa M Ridwan, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (30/1).

Jaksa tidak sependapat dengan argumen penasihat hukum Anggoro dan meminta pemeriksaan kasus Anggoro tetap berlanjut. Anggoro menjadi terdakwa kasus penyuapan terkait pengajuan anggaran 69 program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan tahun 2007.

Dalam program itu termasuk revitalisasi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di mana perusahaan Anggoro sebelumnya menjadi penyedia barang. Anggoro dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto (Jo) Pasal 65 ayat 1 KUHP. Subsidair Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korups Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Penasihat hukum Anggoro menyatakan penerapan sangkaan pada kliennya. Mereka menilai dakwaan tidak berdasar pada berkas perkara hasil penyidikan. Karena Anggoro pada penyidikan disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13. Sehingga penasihatt hukum menyatakan dakwaan jaksa palsu dan tidak benar.

Jaksa mempunyai pendangan berbeda. Jaksa Yadin mengatakan, pihaknya mendapat kebebasan untuk menerapkan pasal yang lebih tepat atas fakta-fakta yang terungkap dalam penyidikan. "Yang terpenting adalah fakta-fakta tersebut diperoleh dari hasil penyidikan," kata dia.

Menurut jaksa penerapan Pasal 5 ayat 1 huruf b juga tidak menyimpang. Meskipun pada penyidikan sangkaan terhadap Anggoro adalah Pasal 5 ayat 1 huruf a. Menurut jaksa, keduanya merupakan tindak pidana sejenis, yakni suap aktif. Perbedaannya, menurut jaksa, hanya pada kapan suap itu diberikan. "Dari hasil penyidikan, penuntut umum berkesimpulan pemberian tersebut dilakukan setelah penerima berbuat sesuatu, sehingga yang lebih tepat Pasal 5 ayat 1 huruf b," kata jaksa.

Mengenai penerapan Pasal 65 ayat 1 KUHP dalam dakwaan, tapi tidak ada dalam berkas penyidikan, menurut jaksa, tidak dapat menjadi alasan surat dakwaan tidak dapat diterima. Menurut jaksa, penerapan pasal itu tetap berdasar pada fakta dalam penyidikan. Pasal tersebut juga dinilai bukanlah pasal dakwaan pokok. Mengenai tepat atau tidaknya, menurut jaksa, harus dibuktikan dalam proses persidangan.

Jaksa juga tidak sependapat dengan penilaian penasihat hukum Anggoro yang menyebut surat dakwaan batal demi hukum karena tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Karena itu, jaksa meminta majelis menolak keberatan penasihat hukum Anggoro dan meminta perkara untuk dilanjutkan. Anggoro akan kembali menjalani sidang Rabu pekan depan dengan agenda putusan sela dari majelis hakim.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement