Ahad 04 May 2014 20:31 WIB

KPK Diminta Sidik Konsorsium Asuransi TKI

  (dari kiri) Inspektur Jendral Kemenag M Yasin, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, dan Direktur Gratifikasi KPK Giri Supradiono saat memberikan keterangan pers terkait gratifikasi penghulu di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/12).
(dari kiri) Inspektur Jendral Kemenag M Yasin, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, dan Direktur Gratifikasi KPK Giri Supradiono saat memberikan keterangan pers terkait gratifikasi penghulu di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta para TKI di Malaysia untuk segera melakukan penyidikan terhadap konsorsium asuransi TKI yang tidak transparan dalam mengelola asuransi tersebut sehingga KBRI/KJRI mengalami kesulitan klaim ketika TKI yang tertimpa kecelekaan ditempat bekerja.

"Sarasehan yang dilakukan paguyuban TKI di Kuala Lumpur dan Selangor Merekomendasikan bahwa Asuransi TKI sudah seharusnya di kelola melalui program jaminan sosial Jamsostek yang meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua," kata Lukman Hakim, juru bicara paguyuban TKI, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Ahad (4/5).

Dengan begitu, lanjut Lukman, TKI yang kembali ke tanah air sudah terlindungi dengan program asuransi tersebut. Ia menyampaikan hasil sarasehan yang diadakan terkait dengan merayakan hari buruh sedunia (Mayday) di antaranya tentang pengelolaan konsorsium asuransi TKI.

Namun mulai 1 Agustus 2013, pemasaran konsorsium asuransi TKI telah dihentikan oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) karena telah ditemukan dana konsorsium asuransi proteksi TKI sebesar Rp179 miliar dikeluarkan tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran, karena dana tersebut keluar dari inti kegiatan asuransi.

Para TKI yang mengikuti sarasehan juga meminta pemerintah Menghentikan dan haPuskan program KTKLN (- Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri KTKLN). Ini karena banyaknya korban pemerasan biaya dalam pembuatan KTKLN baik itu di Bandara Internarnasional, maupun BNP2TkI yang berada di daerah2 kantong TKI menetap.

"Kasus ini terjadi khususnya bagi para TKI yang sudah lama bekerja di Malaysia dan belum sempat membuat kartu KTKLN. Meskipun kartu tersebut adalah gratis namun pada kenyataannya TKI harus membayar uang mulai dari Rp500. 000 - 1 juta. Pada intinya KTKLN tidak bermanfaat bagi perlindungan TKI," ujar Lukman.

Sarasehan juga menilai dan menghargai Kinerja 10 Tahun SBY dalam pembelaan TKI khususnya Di Malaysia dengan adanya program pembuatan pasport di KBRI KL ?One Day Service?, Pembelaan Kasus perKasus yang penimpa PRT mulai dari kasus tindakan kekerasan yang menimpa Nirmala Bonat (2004), Siti Hajar (2009),Isti Komariyah (2011),dan kasus hukuman mati Walfrida Soik (2013).

Namun demikian pemerintah masih terjebak dalam kasus per kasus, tapi tidak menyelesaikannya secara sistematis dan terstruktur. Kasus beberapa TKI di luar negeri, harusnya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap TKI.Sudah saatnya sektor Informal PRT dirubah menjadi Sektor formal sehingga mereka memiliki Hak yang sama dengan TKI lainnya yang bekerja di sektor perladangan, pabrik, konstruksi, dan servis umum lainnya di Malaysia, kata Lukman.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement