REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Jelang penghujung 2012, publik dibuat geger dengan dibubarkannya Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Banyak orang bertanya, siapa sosok di balik pembubaran badan yang berkuasa mengatur minyak dan gas di hulu itu?
Bukan partai politik, bukan LSM migas, bukan juga perusahaan migas. Adalah Muhammadiyah sebagai inisiator uji materiil UU Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Mahkamah Konstotusi (MK) memutuskan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945.
Gerak langkah Muhammadiyah di bidang konstitusi bukan sekali dua kali. Hingga 2014, ada beberapa undang-undang yang coba digugat oleh Muhammadiyah. Terbaru, saat pembukaan Tanwir di Samarinda, Jumat (24/5) Muhammadiyah mendapat 'kado' dikabulkannya gugatan UU No44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Syaiful Bahri mengatakan perjuangan konstitusi Muhammadiyah adalah amanah Muktamar Yogyakarta 2010. "Ada beberapa undang-undang yang sedang kita proses gugat di MK. Undang-undang itu dinilai tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat," ungkapnya di Arena Tanwir Muhammadiyah Samarinda, Sabtu (24/5).
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) itu menambahkan ada beberapa undang-undang yang berkaitan dengan Muhammadiyah dan bangsa pada umumnya. Dalam kasus UU Rumah Sakit, ada sembilan dari 10 pasal yang dikabulkan gugatannya oleh MK.
Ia juga memuji, dalam putusan MK kali ini ada daya eksekutor agar pemerintah segera melaksanakannya. "Kami tidak meminta namun ini tafsir dari MK," ujarnya. Dengan dikabulkannya gugatan ini, rumah sakit yang berada di bawah naungan Muhammadiyah masih boleh beroperasi atau mendirikan yang baru.
Saat ini juga, ia menantikan putusan UU Ormas yang bersentuhan dengan Muhammadiyah sebagai persyarikatan. Dalam undang-undang tersebut, Muhammadiyah disamakan dengan ormas yang baru terbentuk. "Padahal kaidah kita berdiri dulu dengan regulasi kolonial sebelum merdeka," paparnya.
Syaiful juga menyebut undang-undang tentang Pengelolaan Air tinggal menunggu keputusan. Muhammadiyah merasa perlu menggugat kebijakan itu karena sumber daya air dieksploitasi tanpa memperhatikan kemakmuran rakyat.
"Tidak ada standar harga. Rakyat dipaksa memilih dengan harga selangit."
Atas arahan ketua umum, UU Penanaman Modal Asing (PMA) juga digugat. "Itu biangnya. Kalau tidak diperhatikan, investor yang masuk kepentingannya liberalisasi dan pragmatis," tutur ketua tim advokat Muhammadiyah tersebut.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin menilai langkah menggugat beberapa undang-undang sebagai politik amar ma'ruf nahi munkar Muhammadiyah. Muhammadiyah tampil untuk meluruskan kiblat bangsa. "Ini Jihad konstitusi yang sekarang didukung elemen-elemen lain," papar Din.
Jihad memang tidak mudah. Saat menggugat UU Migas, Din mengaku didekati kelompok dan perusahaan asing yang memiliki usaha tambang di Indonesia. "Mereka mengancam akan hengkang, Saya bilang, 'that's good for us'," ujarnya. Muhammadiyah juga sempat ditawari CSR sebagai kompensasi agar tidak melanjutkan gugatan ."Kami tidak butuh itu."
Bagi Muhammadiyah, kesejahteraan rakyat tidak boleh dirampok. Ia memisalkan gugatan soal UU Pengelolaan Air. Menurut Din, air adalah kebutuhan pokok rakyat.
Sementara perusahaan air menjual air kemasan dengan harga seenaknya. Kemudian menjual sisa air dalam tangki-tangki dengan harga mahal dan terindikasi mengakali pajak. "Ini kami lakukan kajian antara tim hukum, litbang dan pakar dari universitas Muhammadiyah," tuturnya.
Ke depan, ungkap Din, Muhammadiyah akan menjalin komunikasi intens dengan anggota DPR. Tujuannya jihad konstitusi harus bisa dikawal dari awal agar produk-produk parlemen tidak membawa limbah negatif.