REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Delapan tahun sudah peristiwa lumpur Sidoarjo terjadi. Semburan lumpur yang menenggelamkan sejumlah desa itu tetap jadi perhatian utama banyak kalangan hingga sekarang.
Selain karena lumpur masih menyembur, warga yang terkena dampak pada dasarnya juga masih perlu terus diperhatikan. Namun sayangnya, belakangan terdapat kecenderungan lumpur Sidoaro diadikan komoditas politik.
Seringkali perhatian atas lumpur Sidoarjo digunakan untuk memojokkan atau malah mengangkat citra politik pihak tertentu. “Area lumpur ini seharusnya dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan. Seperti turisme dan pariwisata, pemberdayaan masyarakat lokal atau pemberdayaan pengungsi keluarga terdampak,” kata Direktur Eksekutif Humanitus Sidoarjo Fund (HSF) Jeffrey Richards ketika dihubungi, Kamis (29/5).
Menurut dia, meski hingga saat ini sebagian masyarakat masih ada yang marah pada pihak Lapindo Brantas, sikap itu lebih dipicu oleh asumsi yang menyebut terjadinya semburan karena kesalahan pengeboran. Padahal, ucapnya, hasil penelitian mutakhir membantah semua asumsi tersebut.
Pakar geodinamika Universitas Bonn Jerman, Profesor Stephen Miller, menegaskan bahwa lumpur Sidoarjo yang terjadi depalan tahun silam adalah murni bencana alam. Ia bersikukuh meluapnya lumpur disebabkan gempa berkekuatan 6.3 skala richter yang terjadi dua hari sebelumnya di Yogyakarta.
“Lumpur ini penyebabnya memang alamiah, bukan karena faktor non saintifik Lapindo Brantas. Baca saja studinya di Jurnal,” katanya dalam siaran pers. Menurutnya, meskipun jarak kejadian kedua peristiwa itu mencapai 250 kilometer, bentuk dan struktur formasi batuan di Sidoarjo memiliki karaketistik lensa yang mengamplifikasi dan memfokuskan gelombang seismik dari tempat gempa.