REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlindungan dan penegakan hukum untuk pekerja alih daya (outsourcing) dinilai masih minim disebabkan lemahnya posisi tawar mereka kepada pengusaha sehingga pemerintah diminta agar meningkatkan perlindungan tersebut.
"Kondisi lemahnya posisi tawar pekerja 'outsourcing' akan berpotensi menimbulkan gejolak yang dapat mengganggu iklim investasi di Tanah Air dan akhirnya tentu saja akan merugikan semua pihak," kata Presiden Organisasi Serikat Pekerja Indonesia Saepul Tavip dalam Diskusi Nasional dengan tema "Akses Perlindungan dan Penegakan Hukum Pekerja Outsourcing" di Jakarta, Rabu.
Saepul menyebut kondisi tersebut dapat menyebabkan "social cost" yang harus ditanggung kemudian menjadi lebih besar dan berdampak luas.
"Kalau 'outsourcing' tetap diberlakukan maka harus dibuat peraturan yang lebih ketat agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak pekerja dalam pola 'outsourcing'," katanya.
Saepul mengingatkan hubungan kerja harusnya tidak hanya dilihat dan dipertimbangkan dari sisi ekonomi semata yang menekankan pada aspek efisiensi biaya namun harus melihat dan mempertimbangkan dimensi sosial kemanusiaan juga.
Namun saat ini yang terjadi justru pekerja outsourcing dijadikan seperti "mesin" atau alat produksi yang bisa diperlakukan semena-mena.
Saepul mencontohkan kasus enam pekerja outsourcing dari PT ISS Indonesia yang dipekerjakan di yayasan pendidikan JIS yang diduga melakukan kejahatan asusila.
"Saat mereka punya masalah, mereka tidak diberi perlindungan hukum. Tapi justru malah dipecat," katanya.
Padahal menurut pasal 1367 KUH-Perdata disebutkan seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah pengawasannya atau dengan kata lain seharusnya perusahaan alih daya tetap bertanggungjawab terhadap kasus hukum pegawainya.
Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia Wisnu Wibowo menambahkan bahwa sesuai aturan pidana, tindakan yang dilakukan oleh pekerja alih daya merupakan tanggung jawab dari orang yang bersangkutan.
"Namun kerugian material yang diakibatkan ulah pekerja harus ditanggung oleh perusahaan alih daya. Itu konsekuensi perdata," ujar Wisnu.
Wisnu mengatakan PT ISS masih berkewajiban untuk bertanggungjawab secara kepegawaian.
Bahkan sesuai Permenakertrans No. 19/2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan telah diatur tanggung jawab, beban dan hak pekerja "outsourcing" yang menerima perintah langsung dari perusahaan penyedia.
"Jadi, seluruh akibat yang ditimbulkan dari pekerja "outsourcing" merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia," kata Wisnu.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Mudji Handaya mengatakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) tidak terlibat dalam penentuan jenis pekerjaan atau kegiatan yang boleh atau tidak boleh melalui sistem alih daya.
"Pemerintah juga tidak boleh terlibat dalam menentukan jenis pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang," tambah Mudji.
Data Indonesian Outsourcing Association (IOA) menyebutkan potensi pasar domestik untuk pasar alih daya atau "outsourcing" di Indonesia tahun 2014 diperkirakan mencapai Rp17,5 triliun.
Sedangkan potensi yang dihasilkan dari bisnis "outsourcing" di dunia ditaksir mencapai 970 miliar dolar AS atau Rp9,215 triliun di tahun 2015.
"Jika saja di Indonesia bisa mengambil satu persen dari perputaran bisnis 970 miliar dolar AS itu, maka akan menghasilkan devisa senilai Rp92 triliun," kata Wisnu.
Saat ini, posisi Indonesia di dunia menempati urutan kelima potensi tenaga kerja produktif dengan 105 juta pekerja.