REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai keluarga merupakan benteng terakhir dalam membentuk karakter anak. Untuk itu, keutuhan dalam kehidupan keluarga penting untuk diperkuat.
Ketua KPAI, Asrorun Niam mengatakan, keluarga yang kuat akan berdampak terhadap perkembangan anak ke arah yang positif. Artinya, kata Niam, kasus-kasus yang menimpa terhadap anak seperti kekerasan bisa ditekan seminimal mungkin.
“keluarga sebagai fungsi pencegahan,” ujar Niam, Kamis (26/6) malam pada acara diskusi tentang membangun pendidikan karakter untuk keluarga maslahah di Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU), Matraman, Jakarta Pusat.
Niam menjelaskan, berdasarkan data primer yang ada pada KPAI bahwa sejak 2010-2014 laporan tentang anak yang berhubungan dengan hukum baik sebagai korban, pelaku, maupun saksi terus meningkat. Misalnya, kata Niam, perkosaan dan kekerasan seksual.
Selanjutnya, laporan yang juga mengalami peningkatan yang diterima oleh KPAI adalah perebutan kuasa asuh anak. Hal ini, kata Niam, sangat memperihatinkan karena dapat berdampak buruk terhadap anak.
Lebih lanjut, Niam menuturkan, berdasarkan data direktorat jenderal Badan Peradilan Agama (BPA) bahwa angka perceraian pada tahun 2010 sebanyak 300 ribu kasus perceraian yang terdaftar. Namun, Niam memprediksi angka perceraian yang cukup besar juga terjadi di luar yang tercatat pada BPA.
Dengan demikian, Niam mengatakan, angka perceraian yang mencapai 300 ribu maka, ada 300 ribu anak yang kehilangan kasih sayang dari orang tuanya. Kehilangan kasih sayang anak dari orang tua, menurut Niam, juga menjadi faktor dari kenakalan bagi anak.
“Mekanisme pengasuhan keluarga yang benar dibutuhkan,” katanya.
Oleh karena itu, asistensi dan konsultasi keluarga, kata Niam, merupakan hal yang penting. Lembaga-lembaga konsultan keluarga yang memiliki nilai-nilai spiritual keagamaan penting untuk digalakkan. Tujuannya, lanjut Niam, tercipta keluarga maslahah dalam kehidupan antara orang tua dan anak.
Niam juga mengkrtik soal pendidikan formal yang diterapkan di Indonesia saat ini. Menurutnya, pendidikan saat ini yang terjadi hanya sebatas mentransfer ilmu. Namun, transefer nilai, tutur Niam, sudah mulai berkurang. Misalnya, Niam mencontohkan kurangnya nilai-nilai keteladanan dan keikhlasan.
Tidak adanya tranfer nilai, Niam memandang sebagai problem yang dihadapai dunia pendidikan saat ini. Apalagi, kata Niam, masyarakat perkotaan menilai pendidikan yang baik hanya dilihat yang bersifat bendawi. Sementara, lanjut Niam, silsilah lembaga pendidikan tidak terlalu diperhatikan. Padahal, kata Niam, membaca silsilah lembaga pendidikan sangat penting untuk proses belajar dan lulusannya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua LKKNU, Sulthonul Huda mengatakan, sistem pendidikan yang berubah-ubah menandakan pendidikan karakter di Indonesia masih belum ada. Selain itu, kata Sulthon, perubahan yang seringkali terjadi pada sistem pendidikan Indonesia hanya berbentuk praktis. Artinya, kata Sulthon, secara subtansi tidak ada perubahan.
Lebih lanjut, Sulthon menambahkan, pendidikan saat ini lebih banyak membangun kecerdasan. Sementara, kata Sulthon, membangun sikap atau perilaku yang baik tidak tampak pada pendidikan di Indonesia.
“Pendidikan tidak punya kekuatan,” ujar Sulthon, Kamis (26/6), di kantor LKKNU, Matraman, Jakarta Pusat.
amun, lanjut Sulthon, membangun pendidikan karakter tidak hanya menjadi tanggungjawab sekolah secara formal. Pendidikan keluarga, tutur Sulthon, juga bertanggungjawab dalam rangka membentuk karakter pendidikan di Indonesia