REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pendeklarasian negara Islam baru "Khilafah" oleh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), menuai banyak kritik. Beragam kritik itu sebagian juga datang dari ulama Sunni Suriah, Irak, dan kelompok Islam lainnya.
Para ulama mengungkapkan, syarat-syarat yang benar belum terpenuhi, untuk mendirikan sebuah Khilafah. "Mereka mengumumkan, tanpa berkonsultasi dengan masyarakat Irak, atau pemimpinnya," ujar Asosiasi Ulama Muslim Irak (Amsi), seperti dilansir dari OnIslamnet.
Amsi menambahkan, pendeklarasian tersebut, tak lagi untuk kepentingan rakyat Irak, atau persatuan, sebaliknya justru merugikan rakyat. Kini Amsi berupaya mmemberikan bimbingan politik, bagi pemberontak non-ISIS.
Pada 30 Juni lalu, ISIS secara mengejutkan mengumumkan, pembentukan Khilafah Islam baru, berganti nama menjadi Negara Islam. Deklarasi itu disiarkan melalui rekaman audio, kemudian didisktribusikan secara online.
Dalam video tersebut, ISIS menyatakan, Abu Bakar al-Baghdadi adalah Khalifah dan pemimpin bagi umat Islam d dunia. Kabarnya, setelah pengumuman itu, kelompok pemberontak Sunni lainnya, turut bergabung dan bersumpah setia, serta menyerah senjatanya.
Sumber-sumber militer Tribal dan pemberontak, mengatakan, setelah dua hari pembicaraan di Mosul, mereka diminta mengambil sumpah kesetiaan kepada khalifah baru. Kemudian hanya pejuang dari Negara Islam yang diizinkan membawa senjata.
"Kami tak akan mengambil sumpah setia, dan kami tak akan menyerahkan senjata kita. Kami akan menyembunyikannya," ujar seorang pemberontak Sunni. Ia menambahkan, meski begitu mereka tak bisa melawan ISIS, karena mereka terlalu kuat, maka akhirnya mereka pun menyerah, namun tetap aktif di Baghdad. Di sana ISIS tak hadir secara aktif.