REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebenarnya, perbedaan hasil hitung cepat, bukanlah baru terjadi pada Pilpres 2014 ini. Sejak Pilpres 2004 silam, kasus serupa sudah terjadi, bahkan lebih parah. Saat itu, pada pilpres putaran kedua, salah satu pasangan capres/cawapres (Mega-Hasyim), membuat hitung cepat sendiri dengan meng gandeng lembaga bernama Institute for Social Empowerment and Democracy (Insed) serta TVRI.
Berbekal sampel 1.264 TPS, Tim Mega-Insed-TVRI, mengumumkan hasil pilpres pada 20 September pukul 15.00, atau dua jam setelah TPS ditutup. Hasilnya, Mega-Hasyim menang dengan 50,07 persen, sedangkan SBY-JK kalah tipis dengan 49,93 persen.
Pada saat bersamaan, LP3ES juga mengumumkan hitung cepat, dengan hasil yang bertolak belakang. LP3ES yang mengambil sampel 1.942 TPS, menyatakan pemenang pilpres bukan Mega-Hasyim, tapi SBY-JK. Bahkan, SBY-JK menang telak dengan 60,2 persen, sedangkan Mega-Hasyim hanya meraih 39,8 persen suara.
Perbedaan hasil hitung cepat ini juga membuat suasana panas. Dan, polemik hasil quick count itu berakhir pada 4 Oktober, ketika KPU meng umumkan rekapi tulasi hasil penghitungan manual. KPU menyatakan SBY-JK meraih 69.266.350 suara atau 60,62 persen. Sedangkan, Mega-Hasyim hanya meraup 44.990.704 suara, atau 39,38 persen.
Hasil penghitungan KPU berselisih tipis dengan quick count LP3ESNDI, yaitu hanya 0,42. Sedangkan, selisih peng hi tungan Tim Mega-Insed, bahkan sampai dua digit, yaitu 10,69, atau dua kali lipat di banding kesa lahan Puskaptis dalam pilpres kali ini.