REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Otoritas kesehatan Amerika Serikat (AS) akan mengirim personel tambahan ke Nigeria. Ini terkait status darurat yang diberlakukan Nigeria menyusul penyebaran wabah ebola yang memburuk.
Pengiriman staf dilakukan guna membantu pengendalian virus ebola yang tergolong masih sedikit di Nigeria.
"Kami sangat khwawatir dengan potensi penyebaran ebola di Nigeria, terutama di Lagos. Selama ini, Nigeria tidak pernah terjangkit virus mematikan tersebut," ujar juru bicara Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS, Tom Skinner, pada AFP, Jumat (8/8).
Presiden Nigeria Goodluck Jonatahan mengatakan, dana sebesar lebih dari 11 milliar AS akan digunakan untuk membantu penanggulangan virus ebola yang kian mengkawatirkan. Ia juga meminta agar seluruh warga melaporkan diri pada pusat kesehatan terdekat jika mengalami gejala terinfeksi virus ebola.
Jonathan pun berharap warga tidak panik dan menyebarkan informasi palsu terkait virus ebola.
Virus ebola pertama kali ditemukan pada 1976 di Kongo. Awalnya, wabah secara tidak biasa menyebar di Guinea yang tidak pernah terjangkit sekali pun.
Bahkan, virus berkembang hingga ke daerah perkotaan dan terus menyebar ke negara-negara tetangga di Afrika Barat.
Belum ada obat mau pun vaksin yang teruji secara klinis dapat menanggulangi virus ebola. Pengobatan yang dilakukan secara teratur dan intensif diketahui masih menjadi cara untuk mengurangi gejala yang timbul akibat virus mematikan itu.
Namun, pada pekan ini terdapat dua petugas medis AS, yang telah mencoba untuk meminum obat percobaan Zmapp untuk menyembuhkan penyakit akibat virus ebola. Kent Brantly dan Nancy Writebol, dua petugas medis yang terjangkit ebola dilaporkan kian membaik setelah meminum obat tersebut.