REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Otonomi Daerah LIPI, Siti Zuhro menilai maraknya dugaan kasus korupsi yang dilakukan anggota dewan karena pola pikir masyarakat yang cenderung money oriented. Aktivitas politik yang melibatkan uang membuat biaya pemilu mahal.
Dia mengatakan, caleg yang telah mengeluarkan uang banyak selama proses kampanye, akan berupaya mengembalikan modal dan menyediakan dana untuk pemilu berikutnya. Kegiatan demokrasi ini justru sarat dengan transaksional.
"Kita mesti mengubah mindset yang mengalami disorientasi ini. Rakyat perlu dicerahkan, dididik agar menjadi pemilih yang rasional dan cerdas, bukan soal uang," kata Siti kepada Republika, Rabu (13/8).
Selain itu, partai, DPRD dan SDM-nya juga perlu dibenahi agar korupsi tidak semakin marak. Kunci penting perbaikan kualitas DPRD adalah reformasi parpol. Sebab tidak mungkin kita memiliki DPRD yang berkualitas kalau partainya tak dibenahi.
Parpol yang relatif berhasil menjadikan dirinya sebagai pilar demokrasi dengan memperkuat kaderisasi, maka kadernya lebih berintegritas. Mereka punya kompetensi dan profesionalitas dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota dewan.
"Partai yang tereformasi akan malu mengirimkan kader-kader yang tak berkualitas mengikuti pemilu legislatif," ujar dia.
Makanya, ia mendorong parpol untuk berbenah diri memperbaiki kualitas partai dengan meningkatkan kualitas kader.
Semakin baik kualitas partai semakin baik pula kualitas DPRD dan semakin meningkat pula kepercayaan publik terhadap partai.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendgri), tercatat 3.169 anggota DPRD terlibat dugaan kasus korupsi. Sistem pelaksanaan pemilu dianggap liberal menjadi latar belakang para anggoata dewan tersebut melakukan tindakan korupsi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Otda, Kemendagri, Djohermansyah Djohan mengatakan, kemenangan mereka melalui pemungutan suara membutuhkan dana besar sehingga ada motif untuk mengembalikan modal kampanye saat terpilih.
"Ini juga karena sistem pemilu. Kalau dalam politik tidak ada makan siang yang gratis kan," kata Djohermasyah.
Bila ditinjau data per kasusnya, Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah terbesar sebanyak 36 kasus. Selain itu, Jawa Tengah (28), Jawa Barat (25), Sumatera Utara (20), NTT (15), Sumatera Barat (13), Kalimantan Barat (13), Sulawesi Selatan (12), Maluku Utara (12) dan Papua (12).