Jumat 15 Aug 2014 19:43 WIB

Kontroversi Baha’i Sebagai Agama Resmi

Rep: C67/ Red: Julkifli Marbun
Lukman Hakim Syaifuddin
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Lukman Hakim Syaifuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin pernah menyatakan bahwa Baha’i merupakan agama yang keberadaannya diakui institusi. Pernyataan tersebut sontak menggegerkan masyarakat Indonesia.

Pernyataan Lukman terkait Bahai’ terungkap melalui akun twitternya beberapa waktu yang lalu. Di antara isi pernyataannya, Lukman mengakui Baha’i merupakan agama bukan aliran dari suatu agama. Pemeluknya dalam twitternya disebutkan tersebar di Banyuwangi (220 orang), Jakarta (100 orang, Medan (100 orang), Surabaya (98 orang), Palopo (80 orang), Bandung (50 orang, dan Malang (30 orang).

Oleh karena itu, dalam pernyataannya di twitternya menegaskan Baha’i merupakan agama yang dilindungi konstitusi sesuai dengan pasal 28E dan pasal 29 Undang-udang Dasar 1945.

Lukman juga menambahkan dalam pernyataannya, berdasarkan UU 1/PNPS/1965 dinyatakan agama Baha’i merupakan agama diluar Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budhha, dan Khonghucu. Agama Bahai’, kata Lukman, juga mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.

Meskipun Lukman mengakui Baha’i sebagai agama namun, Ia membantah telah meresmikannya sebagai agama resmi yang diakui di Indonesia. "Saya mengklarifikasi info di berita online yang menyebutkan kalau saya meresmikan Baha'i sebagai agama resmi di Indonesia," ujar Lukman beberapa waktu yang lalu.

Adanya pemeluk agama Baha’i di sejumlah daerah di Indonesia sampai saat ini Lukman masih melakukan pengkajian lebih lanjut. Termasuk apakah pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan Baha’i sebagai agama resmi. Sehingga, kata Lukman, berhak untuk dilindungi dan dilayani haknya sebagaimana enam agama lainnya yang telah resmi.

Bahkan, dalam kasus ini, Lukman menyatakan dihadapan para ulama pada Rapat Kerja Nasional Majlis Ulama Indonesia (Rakernas MUI) yang berakhir Kamis (14/8), meminta masukan terkait otoritas pemerintah dalam hal menetapkan suatu keyakinan bisa disebut sebagai agama.

Sebab, Lukman menilai yang dibutuhkan oleh masyarakat dari pemerintah merupakan sebuah keadilan. Dengan demikian, Lukman menegaskan, keadilan merupakan kewajiban pemerintah yang harus diberikan kepada masyarakat.

Beberapa waktu yang lalu, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Machasin mengatakan telah melakukan kajian terkait Baha’i. Menurutnya, berdasarkan hasil kajian dan penelitian badan litbang Kemenag, Baha’i merupakan agama yang diakui dan dianut oleh sebagian warga Indonesia.

Bedasarkan hasil kajian dan penelitian tersebut, kata Machasin, agama Baha’i berada di luar Islam. Oleh karen itu, Machasin menegaskan kelompok Islam tidak bisa menyatakan Baha’i sebagai ajaran sesat.

“MUI hanya berbicara kalau itu Islam, kalau di luar Islam, dia tidak berhak mengatakan ini sesat atau tidak sesat,” ujar Machasin

Memang, beberapa kalangan termasuk MUI masih mempertanyakan wacana pemerintah terkait Bahai’i akan diakui sebagai agama resmi. Muhyidin Junaidi, ketua dewan pimpinan MUI pusat salah yang tidak menyetujui wacana pemerintah terkait Baha’i.

Dalam pernyataannya kepada Republika beberapa waktu yang lalu, Muhyidin menilai Baha’i merupakan perpanjangan tangan dari sekte yang masih memiliki hubungan sejarah dengan Islam. Muhyidin menuturkan jika Baha’i lebih tepat menjadi aliran kepercayaan yang berada dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Muhyidin melihat dari kriteria aliran bahwa Bahaisme bersifat sesat dan menyesatkan. Selain itu, secara politik, kata Muhyidin, akan menimbulkan banyak masalah di masa depan.

Guru besar Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Djam’anuri mengatakan, Baha’i merupakan salah satu agama yang ada di dunia. Namun, kemunculannya dibandingkan dengan agama lainnya, tutur Djam’anuri, sangat akhir.

“Baha’i termasuk gerakan agama baru di dunia,” ujar Djam’anuri Kamis (7/8) kepada Republika.

Dikatakan Djam’anuri, agama Baha’i merupakan gabungan dari tiga agama yaitu, Yahudi, Kristen, dan Islam. Menurutnya, agama Bahai mengajarkan tentang universalitas kemanusiaan dan kebudayaan.

Menanggapi kontroversi tentang Baha’i apakah termasuk kategori agama, Djam’anuri mengatakan, secara akademik, Baha’i termasuk agama. Akan tetapi, dari sisi Islam, lanjut Djam’anuri, Baha’i hanya sebuah paham.

Dengan demikian, Djam’anuri berharap pemerintah untu k mengkaji lebih dalam  sebelum menetapkan sebagai agama resmi. Djam’anuri berpendapat, pemerintah diantaranya harus melihat populasi penganutnya dan kegiatannya.

Shela Soraya, salah seorang pengurus dari kantor hubungan luar negeri majlis rohani nasional Baha’i Indonesia mengatakan, ajaran utama agama Baha’i adalah kesatuan yaitu Tuhan itu satu. Agama Baha’i juga meyakini, kata Shela, semua agama benar karena bersumber dari Ilahi yang satu.

“Semua manusia adalah keluarga besar yang diciptakan Tuhan yang maha Esa,” ujar Shela, Jumat (15/8) kepada Republika.

Shela menjelaskan, setiap penganut Baha’i meyakini bahwa setiap manusia diciptakan untuk memajukan peradaban manusia. Selain itu, kata Shela, Baha’i juga mengajarkan beberapa prinsip rohani dan moral. Diantara prinsip tersebut yaitu, kesatuan umat manusia, dan penghapusan segala bentuk prasangka.

Shela menegaskan,  Baha’i merupakan agama yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari sekte atau aliran dari agama apapun. Menurutnya, agama Baha’i telah eksis di 191 negara. Baha’i juga terdapat di 46 wilayah teritori di dunia dan memiliki lembaga lokal dan nasional di 182 negara.

Agama Baha’i, kata Shela, masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh dua saudagar Baha’i dari Persia yaitu, Jamal Effendi dan Sayyid Mustafa Rumi. Menurutnya, kedua saudagar tersebut datang melalui Sri Lanka ke Sulawesi, Lombok, Bali, Jawa, dan Batavia.

Lebih lanjut, Shela menjelaskan, para penganutnya, meyakini Baha’ullah sebagai pembawa wahyu. Baha’i, lanjut Shela, juga memiliki kitab suci dan hukum-hukum tersendiri dalam kehidupan sehari-hari.

Shela mengaku dalam agama Baha’i tidak terdapat ritual seperti agama lainnya. Menurut Shela, yang ada hanyalah doa-doa dan tulisan suci. Doa dan tulisan suci tersebut, kata Shela, dibaca setiap pagi dan petang. Selain itu, kata Shela doa dan tulisan suci tersebut juga dibaca saat sembahyang wajib yang dilakukan setiap hari.

“saat puasa satu tahun sekali selama 19 hari dari tanggal 2 Maret sampai 20 Maret,” katanya.

Para penganut agama Baha’i, kata Shela, dengan membaca, mempelajari, dan memahami ayat suci tersebut diyakini mereka akan mengalami perkembangan secara jasmani dan rohani.

Lebih lanjut, Shela menjelaskan, dalam agama Baha’i, terdapat sembilan hari besar diantaranya, 21 Maret sampai hari raya Nawruz (tahun baru) dan 21 April sampai hari raya Ridwan pertama (1863). Pada hari-hari tersebut, kata Shela, penganut Baha’i tidak boleh untuk bekerja.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement