REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil jajak pendapat yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan meyoritas publik menolak pelaksanaan pilkada lewat DPRD. Sebanyak 81,25 persen responden menginginkan pilkada tetal dilaksanakan secara langsung, hanya 10,71 persen yang menyetujui pilkada lewat DPRD.
"Hasilnya 81,25 persen ingin pilkada langsung, 10,71 persen setuju pilkada lewat DPRD, dan 4,91 persen menyatakan kepala daerah ditentukan presiden. Sisanya 3,13 persen menjawab tidak tahu," kata Peneliti LSI Adjie Alfaraby saat memaparkan hasil survei, di Jakarta, Selasa (9/9).
Jajak pendapat tersebut diselenggarakan LSI untuk merespon pro dan kontra pemilihan langsung atau tidak langsung dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR. Survei dilakukan pada 5 hingga 7 September 2014 dengan menggunakan metode multistage random sampling. Survei melibatkan 1.200 responden di 33 provinsi. Jajak pendapat dilakukan melalui sistem quickpoll menggunakan smartphone LSI. Margin of error dari survei yang melibatkan jumlah responden perempuan dengan laki-laki yang sama ini sebesar 2,9 persen.
Menurut Adjie, penolakan pilkada lewat DPRD merata di semua segmen masyarakat. Namun, masyarakat yang tinggal di perkotaan, berpendidikan tinggi, dan berstatus ekonomi menengah ke atas tingkat penolakannya lebih tinggi.
Tercatat responden di pedesaan sebanyak 79,63 persen menginginkan pilkada langsung. Sementara dari kalangan perkotaan sebanyak 81,76 persen.
"Tingginya penolakan dari masyarakat kelas menengah perkotaan ini karena mereka lebih sensitif terhadap isu demokratisasi. Mereka juga memiliki akses lebih kepada media massa yang bervariasi," ujarnya.
Saat ditanyakan mengenai usulan pilkada lewat DPRD, menurut Adjie, sebanyak 74,76 persen responden menilai usulan tersebut didasarkan kepentingan partai. Hanya 14,29 persen yang menilai usulan tersebut murni didasarkan pada semangat memperbaiki kualitas pilkada. Sementara 10,95 persen menjawab tidak tahu.