REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Masyarakat yang tergabung dari Aliansi Rakyat Merdeka (ARM) menggelar aksi menolak pembahasan Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada), yang akan menghapus pilkada langsung kepala daerah.
Koordinator ARM Ajat Sudrajat menyebut pembahasan RUU tersebut sebagai suatu kemunduran dalam berdemokrasi. Sebab, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang ada saat ini diperoleh dari perjuangan yang panjang.
"Kita telah bersusah payah membangun sistem demokrasi ini, kalau sampai dikembalikan ke DPRD kita tidak bisa menerimanya dengan alasan apapun," ujarnya dalam orasinya di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Rabu (10/9).
Mereka menuntut DPR menghentikan pembahasan RUU Pilkada. Pemerintah diminta untuk konsisten dalam melaksanakan amanat UUD 1945 yang tertuang dalam pasal 18 ayat 4, yang bunyinya menghendaki pemilihan kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,dan kota dipilih secara demokratis.
Koordinator Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 92 Jabar, Agus Zakaria dalam orasinya meneriakkan bahwa alasan rencana pengubahan sistem pemilihan langsung menjadi parlemen karena penghematan biaya sangat tidak masuk akal. Justru ia menilai pemilihan kepala daerah melalui parlemen sarat terjadi kecurangan.
Tak hanya berorasi, massa yang berasal dari gabungan beberapa organisasi di Jabar itu melakukan aksi teatrikal dengan membakar keranda mayat tepat di depan gerbang pintu masuk DPRD Jabar.
Mereka menyebut aksi itu diartikan sebagai simbol matinya demokrasi Indonesia kalau sampai RUU itu disahkan. Sebab, demokrasi langsung yang ada saat ini diperoleh melalui proses yang panjang yang dilaksanakan untuk pertama kalinya pada Juni 2005.