REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- KPK menolak novum (bukti baru) yang diajukan mantan jaksa Urip Tri Gunawan, terpidana kasus suap dan pemerasan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) Urip.
"Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka alasan pemohon PK bukan termasuk dalam materi peninjauan kembali sehingga harus dikesampingkan," kata jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rini Triningsih dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (25/9).
Terdapat tiga butir penjelasan dalam novum (bukti baru) disampaikan Urip yang saat ini menjalani hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider satu tahun kurungan, didalam persidangan. Pertama Urip menjelaskan bahwa KPK dan Kejaksaan Agung sama-sama menyelidiki terkait perkara BLBI sehingga menurut dia, tidak ada unsur melawan hukum yang menjadi dasar tindak pidana terhadapnya.
"Perbuatan pemohon PK telah memenuhi unsur pasal dakwaan karena pemohon PK selaku pegawai negeri atau penyelenggara telah menerima hadiah berupa uang tunai sejumlah 660 ribu dolar AS dari Artalyta Suryani, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," ungkap jaksa.
Menurut jaksa, terdapat sejumlah fakta persidangan yang menunjukkan Urip terbukti menerima uang sebagai jaksa dalam anggota tim penyelidik BLBI PT Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Urip juga telah melakukan komunikasi dengan pengusaha Artalyta Suryani yang terkait langsung dengan pemilik PT BDNI Sjamsul Nursalim untuk mencari cara Sjamsul menghindari pemeriksaan dalam kasus itu.
Sedangkan dalam novum kedua, Urip mempermasalahkan frasa "perintah supaya ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan" yang tidak ada dalam amar putusannya. Dia menilai bahwa hal tersebut bertentangan dengan putusan MK nomor 69/PUU-X/2012, sehingga putusan terhadapnya harus dibatalkan.
"Keberatan tersebut tidak tepat bila diajukan pada saat pengajuan PK karena bukan novum dan seharusnya keberatan tersebut diajukan sesaat setelah ditahan tanpa adanya surat penetapan perpanjangan penahanan dari MA, namun pemohon PK tidak pernah mengajukan keberatan sampai dengan pelaksanaan eksekusi. Berdasarkan hal-hal tersebut maka alasan pemohon PK bukan merupakan novum sehingga harus dikesampingkan," ungkap jaksa.
Sementara dalam novum ketiga, Urip mengungkapkan bahwa jaksa pada KPK tidak mempunyai kewenangan mengeksekusi putusan pengadilan, menurut Urip, kewenangan untuk melakukan eksekusi, ada pada jaksa pada Kejaksaan.
"Pendapat pemohon PK tersebut tidak benar karena justru selama ini prakteknya semua perkara yang ditangani KPK sudah diputus pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, eksekusinya dilakukan oleh jaksa KPK," tegas jaksa. Urip juga berupaya mengajukan bukti baru untuk meringankan perkaranya yaitu berupa kegiatan selama di lembaga pemasyarakatan.