Senin 29 Sep 2014 19:22 WIB

Dua Hakim MK Sampaikan Dissenting Opinion

Rep: c87/ Red: Joko Sadewo
Hakim Konstitusi Maria Farida (kiri) saat menerima penghargaan S.K. Trimurti 2010
Foto: antara
Hakim Konstitusi Maria Farida (kiri) saat menerima penghargaan S.K. Trimurti 2010

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda pendapat atau dissenting opinion dalam sidang putusan gugatan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Senin (29/9). Dua hakim yang dissenting opinion yakni Maria Farida Indrati dan Arief Hidayat. 

Sidang tersebut membacakan dua putusan gugatan yakni tentang keterwakilan perempuan dan aturan pemilihan pimpinan DPR. Dalam keterwakilan perempuan, majelis hakim memutuskan mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Sedangkan soal aturan pemilihan pimpinan DPR, majelis hakim menolak keseluruhan permohonan pemohon.

Maria menyatakan proses pembentukan UU Nomor 17 Tahun 2014 tersebut bertentangan dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dan asas keterbukaan. Pembentukan UU MD3 juga bertentangan dengan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 tanggal 27 Maret 2013.  "Oleh karena pembentukan UU a quo tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasannya," kata Maria di ruang sidang pleno.

Selain itu, juga bertentangan dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dan Putusan MK Nomor 20/PUU-XI/2013 yang berkaitan dengan hak-hak politik perempuan.

Maria juga menilai UU MD3 berdampak terjadinya kerugian konstitusional dalam pembentukan dan pemilihan pimpinan lembaga dan alat kelengkapan MPR, DPR, dan DPD. Sebab pengesahan UU dilaksanakan setelah Pileg selesai.

"Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon tentang pengujian formil terhadap pembentukan UU Nomor 17 Tahun 2014 seharusnya dikabulkan dan UU a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Maria menyimpulkan.

Arief Hidayat menilai UU MD3 sejak kelahirannya mengalami cacat baik secara formil pembentukannya maupun secara materiil materi muatannya.

"Saya berpendapat seharusnya permohonan pemohon mengenai pengujian formil maupun materiil UU a quo dikabulkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Arief yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Hamzan zoelva.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement