Selasa 30 Sep 2014 00:20 WIB

Ini Alasan Ilmiah Dibalik Pentingnya Sidang Itsbat

Rep: c78/ Red: Esthi Maharani
 Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin (tengah), bersama Wamenag Nazaruddin Umar (kanan), dan Ketua MUI Din Syamsuddin saat sidang isbat penentuan 1 Syawal 1435 H di Kementerian Agama, Jakarta, Ahad (27/7).(Republika/ Yasin Habibi)
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin (tengah), bersama Wamenag Nazaruddin Umar (kanan), dan Ketua MUI Din Syamsuddin saat sidang isbat penentuan 1 Syawal 1435 H di Kementerian Agama, Jakarta, Ahad (27/7).(Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sidang itsbat dalam menetapkan awal Zulhijah dalam bulan qamariyah untuk menentukan hari raya Idul Adha kembali menjadi bahan perdebatan, apakah praktiknya masih harus dipertahankan atau lebih baik tidak melakukan itsbat karena mengikuti ketetapan pemerintah Saudi Arabia.

 

Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama (Kemenag) utusan dari Planetarium Jakarta punya jawaban ilmiah terkait pentingnya melakukan sidang itsbat untuk satu Dzulhijah.

“Sidang itsbat penting untuk memfasilitasi konfirmasi rukyat atas hisab,” kata dia kepada //Republika// usai melakukan konferensi pers soal perbedaan penetapan satu Dzulhijah di Arab Saudi dan Indonesia.

Selain menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan kepastian kepada masyarakat untuk menetapkan tanggal tertentu dalam bulan qamariyah, sidang itsbat juga merupakan amanat dari fatwa MUI no 2 tahun 2004. Di situ menjelaskan penentuan Syawal, Ramadhan dan Dzulhijah berdasarkan pada rukyat dan hisab.

“Kalau hisab itu tidak perlu ngumpul-ngumpul, tapi rukyat dilaksanakan di akhir bulan qamariyah tertentu untuk menegaskan hisab,” terangnya.

Menyoal puasa Arafah,ia menerangkan puasa tersebut tidak diartikan sebagai puasa yang waktunya bersamaan dengan jamaah haji ketika di Arafah. Pengertian puasa arafah, berdasarkan kesepakatan para ahli syariat di Indonesia, ialah puasa yang dilaksanakan pada 9 Dzulhijah, makanya pelaksanaannya pun mengikuti tanggal yang ditetapkan pemerintah setempat berdasarkan //matla//.  

Maka, pelaksanaannya pun tidak bisa diseragamkan, melainkan berdasarkan keyakinan masing-masing wilayah. Ia pun mengimbau agar kepada seluruh umat Islam tetap memegang teguh ukhuwah islamyiah dan rasa toleransi beragama meski terdapat perbedaan waktu Idul Adha.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement