REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintatahan Joko Widodo-Jusuf Kalla disarankan untuk memilah secara tepat komitmen penanganan kasus pelanggaran HAM. Jokowi diminta untuk memilah kasus yang bisa dilanjutkan, sudah diadili dan berkekuatan hukum tetap, atau yang sudah tidak mungkin diadili.
"Yang sudah diadili dan berkekuatan hukum tetap harus dihormati. Kita posisinya Ansor dan Banser menghargai proses hukum itu," kata Ketua Umum GP Ansor Nusron Wahid, dalam diskusi bertema 'Refleksi Persoalan HAM Masa Lalu: Solusi untuk Pemerintahan Jokowi-JK', Jumat (3/10). Kasus tersebut di anataranya Talang Sari, kasus Tanjung Priok, kasus Munir.
Adapun untuk yang yang belum diadili, seperti dalam kasus pelanggaran HAM Trisakti dan Semanggi, ini bisa saja nanti diselesaikan. Sementara untuk yang sulit diadili seperti kasus 65 dll, karena sudah lama akibat konflik sosial.
"Kita Ansor mendorong ini diselesaikan secara rekonsiliasi. Ini seperti kasus PKI, kasus 65. Harus ada kebijakan rekonsiliasi. Kasusnya dimaafkan, tetapi tidak dilupakan karena ini tragedi yang tak boleh terulang lagi," ujar Nusron.
Terlebih, tragedi itu juga terjadi mungkin saja bukan atas kehendak mereka. Kelompok Ansor, kata dia, mungkin membunuh juga karena korban adu domba. "Dan kalau enggak membunuh akan terbunuh," ungkapnya.
PKI juga mengatakan sebagai korban adu domba. Dan sekarang yang ada tinggal keluarganya, yang sudah bisa hidup saling berdampingan.
"Maka solusinya pemerintahan Jokowi-JK mengeluarkan semacam komisi rekonsiliasi atas kasus-kasus seperti ini," ungkap Nusron.