REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sekelompok dokter mengelar kampanye yang mendesak kalangan seprofesinya untuk berhenti menemui perwakilan perusahaan obat. Alasannya karena dinilai membuat dokter kerap terjebak pada kondisi yang lebih mementingkan perusahaan obat ketimbang kebutuhan pasien.
Dokter dan akademisi meluncurkan kampanye bertajuk No Advertising Please (Tolong Jangan Beriklan) yang bertujuan untuk memerangi metode penjualan langsung yang dilakukan perusahaan obat. Setiap tahunnya perusahaan obat Australia meraup untung lebih dari $23 miliar. Sebagian besar keuntungan itu digunakan untuk membayar tenaga pemasaran yang mewakili perusahaan obat atau lebih dikenal dengan profesi Medical Representatives.
Metode ini mencuatkan keprihatinan dimana para tenaga pemasaran ini mempengaruhi keputusan dokter dalam meresepkan obat. Akibatnya, seringkali pasien menerima obat yang sebetulnya tidak mereka perlukan atau mengutamakan meresepkan obat dari merek tertentu ketimbang merek yang lain.
Kampanye No Advertising ini mendesak agar para praktisi kedokteran berjanji dan memasang tanda di meja kerja mereka kalau dirinya menolak bertemu dengan perwakilan dari perusahaan obat.
Salah satu tokoh dibalik kampanye ini, Dr. Justin Coleman mengatakan tugas perwakilan perusahaan obat memang mempromosikan obat tapi seharusnya dokter memutuskan obat mana yang akan diresepkan itu berdasarkan bukti terbaik bukan berdasarkan pendekatan pemasaran terbaik yang dilakukan oleh perusahaan obat.
Dr. Geoff Spurling, dokter lain yang ikut mengkampanyekan gerakan ini yang telah menelaah 58 riset internasional yang meneliti dampak dari pemasaran obat dan perilaku dokter dalam memberikan resep menyimpulkan dokter cenderung gampang dirayu oleh tenaga pemasaran perusahaan obat.
“Dokter yang bertemu dengan tenaga pemasaran perusahaan obat lebih dari dua kali cenderung meresepkan obat yang dipromosikan oleh mereka, ketimbang dokter yang memutuskan untuk tidak bertemu dengan mereka," papar Dr Spurling baru-baru ini.
“Semua berhubungan dengan uang, sementara keamanan pasien dan kepentingan lain dari pasien seperti dinomorduakan. Dan saya kira para dokter terkadang tidak menyadari hal itu. Mereka cenderung terbujuk dengan tawaran makan siang dan interaksi yang manis dalam acara minum teh pagi yang digadang-gadang demi kepentingan pasien mereka, padahal tidak ada bukti sama sekali hal itu saling terkait,” tambahnya.
"Padahal seharusnya ketika meresepkan obat, resep itu harus mencerminkan keselamatan pasien sebagai kepentingan utama ketimbang keuntungan perusahaan obat,"
Disclaimer:
Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).