REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik di Suriah tidak lagi disoroti kebanyakan media dari sisi kemanusiaan yang mengorbankan rakyat, anak-anak dan wanita yang tidak berdosa.
Konflik ini telah berubah menjadi ajang adu tangguh antar pemain di lapangan yang disokong oleh aktor-aktor dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam konflik perebutan kota Kobane yang berbatasan dengan Turki saat ini, dunia dipertontonkan secara langsung pertempuran antara pasukan ISIS dengan People's Protection Units atau YPG, keduanya dianggap kelompok teroris oleh Barat.
Para pemerhati Barat memuji ketangguhan dua pasukan ini. Kalangan ISIS dinilai tangguh karena sebagian besar pemimpin dan pasukannya pernah dilatih AS di Yordania sebelum organisasi ini berubah jadi ISIS.
Di lain pihak, kelompok ini juga disokong oleh sebagian besar mantan tahanan Amerika Serikat yang mengalami penyiksaan mental di penjara-penjara Irak saat AS menguasai negeri Saddam Hussein tersebut.
Di sisi lain, YPG masih berhubungan dengan Democratic Union Party (PYD) Suriah dan masih berafiliasi dengan Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang terkenal itu.
Saat ini, dengan bantuan Koalisi AS dan mitranya, Kurdi perlahan kuasai Kobane.
Menurut Mutlu Civiroglu di Vice News, salah satu faktor yang membuat ISIS mampu memperluas wilayah kekuasaannya di Irak adalah karena pasukan YPD tidak diperbolehkan masuk ke Irak.
Mereka tidak diizinkan masuk oleh Kurdistan Democratic Party (KDP), penguasa Kurdistan Irak, dengan pasukan Peshmerganya.
Tapi, belakangan, saat pasukan Irak dan Peshmerga pun kalah dengan ISIS, milisi YPG sudah diperbolehkan masuk.
"Dan mereka berhasil membuktikan diri (tangguh melawan ISIS)," jelasnya.
Hal inilah yang membuat khawatir Turki jika seluruh pasukan Kurdi bersatu karena rencana membentuk Negara Kurdi Raya menjadi lebih matang. Walau begitu, belakangan dengan jaminan AS, pasukan Peshmerga Irak diizinkan Turki masuk Kobane membantu YPG.
Kalangan Kurdi memang dikenal gigih dalam memperjuangkan tekad mereka. Sejarah membuktikan masyarakat Kurdi pernah melahirkan Sultan Salahuddin Alayyubi alias Saladin yang mempunyai perangai santai dan mampu melawan pasukan Eropa dalam perang Salib.
Bila dirunut ke belakang, asal muasal ISIS juga berasal dari masyarakat Kurdi, saat mereka hidup dalam tekanan di bawah pemerintahan Arab Saddam Hussein yang Sunni. Sebelum berpisah, dulu mereka dicap bagian dari Alqaidah. ISIS saat ini lebih dominan dihuni kalangan Sunni, termasuk Arab dan jihadis asing.
Walaupun mayoritas beraliran Sunni, masyarakat Kurdi membentuk kelompok-kelompok perjuangan yang disatukan dengan solidaritas kebangsaan Kurdi. Selain di Irak, mereka juga hadir di Iran, Suriah, Turki dan negara-negara Arab lainnya, dalam bentuk kelompok bersenjata maupun politik.
ISIS saat ini menguasai sebagian wilayah Suriah dan Irak. Banyak pengamat memperkirakan Presiden Bashar Alassad, sengaja membiarkan ISIS memperluas kekuasaannya. Tujuannya, agar pasukan rezim lebih fokus melawan pasukan pemberontak (FSA) maupun kelompok radikal lainnya seperti Nusra Fron, yang dipimpin Abu Mohammed al-Golani, kelahiran Israel.
Presstv, Jumat (24/10) melaporkan, pasukan Suriah telah mulai memenangkan perang di berbagai daerah, khususnya di Morek. Militer Suriah berhasil mengusir pasukan Nusra Fron yang dicap bagian dari Alqaidah.