Kamis 30 Oct 2014 10:01 WIB

Haji Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (3)

Jamaah haji melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: AP Photo/ca
Jamaah haji melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Haji dalam perspektif tarekat melampaui batas rukun, syarat, dan sunah haji sebagaimana dibahas di dalam artikel terdahulu tentang haji dalam perspektif syariah.

Dalam perspektif tasawuf, pengertian, filosofi, rukun, dan syarat, sampai pada praktik dan amaliah haji, semuanya sarat dengan makna simbolis.

Haji itu sendiri arti dasarnya ialah maksud dan tujuan (al-qashd), yakni bermaksud menuju ke hakikat rumah Allah (Bait Allah) yang juga biasa disebut Ka’bah.

Ka’bah itu sendiri berasal dari akar kata ka’aba-ya’ubu-ku’uban berarti menonjol, penuh, padat berisi, atau montok. Dari kata itu membentuk kata ka’aba (membuat berbentuk kubus) dan ka’bah berarti ruas, kubus, atau bangunan bersegi empat.

Ka’bah juga bisa berarti kemuliaan, keluhuran, dan kebesaran (al-syarf wa al-majd). Ka’bah secara fisik merupakan bangunan berbentuk kubus yang terletak di tengah Masjid Haram, Makkah.

Bangunan ini adalah monumen suci bagi umat Islam. Ka’bah menjadi patokan arah kiblat bagi umat Islam di seluruh dunia. Ka’bah juga merupakan bangunan yang wajib dikunjungi pada saat musim haji dan umrah.

Ka’bah memiliki tinggi 13,10 m dengan sisi 11,03 m x 12,62 m. Jika kita menggunakan GPS maka posisi Ka’bah terletak pada 21°25‘21.2 Lintang Utara, 039°49‘34.1 Bujur Timur, dan Elevasi 304 meter (ASL).

Ka’bah adalah pusat gravitasi spiritual, seluruh jamaah haji harus memutarinya dengan cara thawaf, yakni memutari Ka’bah sebanyak tujuh kali sambil memberikan pengakuan kebenaran Ilahi, Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika lak. Ka’bah oleh kalangan ahli tarikat dianggap sebagai miniatur al- Dhurah yang dibangun di Baitul Ma’mur dan al-Daurah sendiri dianggap miniatur Arasy, Istana Tuhan.

Semenjak di Arasy, para malaikat selalu melakukan thawaf mengitari Arasy sampai Allah SWT memindahkannya ke Baitul Ma’mur yang di dalamnya sudah dibangunkan al-Daurah. Pemindahan ini terkait dengan kelancangan malaikat mempertanyakan kebijakan Allah SWT tentang rencana penciptaan manusia, sebagaimana diuraikan di dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 30 dst.

Setelah itu, Allah SWT menciptakan miniatur Arasy bernama al-Dhurah di Baitul Ma’mur, kemudian para malaikat diminta melanjutkan thawafnya di tempat baru itu. Di tempat ini pula Adam dan Hawa bernah bergabung malaikat melaksanakan thawaf.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement