Selasa 04 Nov 2014 19:39 WIB

Kiev akan Kaji Ulang Pembicaraan Damai dengan Separatis

Rep: Gita Amanda/ Red: Winda Destiana Putri
Petro Poroshenko
Foto: AP
Petro Poroshenko

REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Presiden Ukraina Petro Poroshenko mengancam akan mengkaji ulang rencana perdamaian dengan separatis pro-Rusia, pada Senin (3/11).

Pernyataan itu dikeluarkan setelah separatis menentang Kiev, dengan menyelenggarakan pemilihan untuk menunjukkan independensi mereka.

Kantor berita AFP melaporkan, Poroshenko mengatakan ia dan kepala keamanan Ukraina akan meninjau kembali komitmen Kiev terkait kesepakatan gencatan senjata pada Selasa (4/11). Termasuk pembatalan penawaran otonomi khusus pada separatis.

"Pemilu semu ini merupakan pelanggaran berat dari gencatan senjata yang disepakati pada September," kata Poroshenko dalam pidato kebangsaannya.

Pemilu yang digelar Ahad (2/11) lalu dilakukan untuk memberikan legitimasi pada pemerintah pemberontak. Pemilu didukung oleh Rusia, yang selama ini dituduh berperan dalam konflik di timur Ukraina.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memperingatkan Moskow terkait dukungannya untuk pemilu separatis. Gedung Putih mengatakan, mengakui hasil pemilu hanya akan membuat Rusia terisolasi lebih jauh.

"Ini pemilu palsu yang melanggar konstitusi Ukraina dan norma-norma pemilu yang paling dasar," ungkap pernyataan.

Rusia telah menyatakan mengakui hasil pemilu pemberontak. "Mereka yang dipilih telah menerima mandat untuk menyelesaikan masalah dan mengembalikan kehidupan normal di kawasan itu," ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri Moskow.

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Grigory Karasin menambah tekanan, dengan menuntut Kiev mengakhiri operasi militernya di timur. Karasin juga meminta Kiev menggelar dialog dengan pemberontak, namun dalam posisi yang setara.

"Ini dapat membuahkan hasil dengan dialog setara berdasarkan sikap saling menghormati, dengan Kiev menghentikan operasi militernya dan operasi anti-terornya yang terkenal," ungkap Karasin pada kantor berita Tass.

Di New York, Rusia juga memblokir upaya Dewan Keamanan PBB yang mengkritik pemilu di timur Ukraina.

Menanggapi pernyataan Rusia, Presiden Prancis Francois Hollande mengatakan sanksi pada Rusia penting tapi harusnya tak jadi respon satu-satunya. "Respon lain diharapkan untuk meyakinkan Moskow dan separatis untuk menghentikan eskalasi dan kembali ke dialog," ujar Hollande.

Ukraina khawatir, pemungutan suara membuktikan bahwa gencatan senjata telah berakhir. Terbukti, wartawan AFP di Donetsk melaporkan terjadinya baku tembak antara pasukan pemerintah dan pemberontak

Padahal kesepakatan gencatan senjata telah dicapai September lalu. Perjanjian ditandatangani oleh Rusia dan kedua pihak bertikai di Ukriana. Kesepakatan dimaksudkan untuk menghentikan permusuhan dan memulai proses pemberian otonomi khusus, pada daerah pro-Rusia.

Di kubu pemberontak, pemimpin pemberontak menyalahkan Kiev untuk kekerasan yang terus berlanjut. "Ukraina tak menginginkan perdamaian, itu sudah mereka nyatakan. Jelas mereka memainkan permainan ganda," kata Presiden baru Republik Rakyat Donetsk Alexander Zakharchenko.

Dari hasil pemilu, Zakharchenko berhasil unggul dengan perolehan 75 persen dari sekitar satu juta surat suara. Mantan teknisi tersebut rencananya akan dilantik sebagai pemimpin pemberontak pada Selasa (4/11).

Di wilayah tetangga Donetsk, Luhansk, Igor Plotnisky memenangkan pemilihan umum. Mantan perwira Soviet itu meraih 63 persen suara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement