Rabu 05 Nov 2014 16:31 WIB

Walubi dan PGI Dukung Perkawinan Beda Agama, MUI dan PBNU Menolak

Rep: Ira Sasmita/ Red: Erdy Nasrul
  Ketua MK Hamdan Zoelva (tengah) membacakan hasil putusan permohonan UU MD3 di kantor Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (29/9). (Republika/Tahta Aidilla)
Ketua MK Hamdan Zoelva (tengah) membacakan hasil putusan permohonan UU MD3 di kantor Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (29/9). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) menyatakan ajaran Budha mengupayakan agar pernikahan diusahakan seiman. Tetapi jika sampai terjadi pernikahan beda agama tetap diupayakan pernikahan tersebut berlangsung.

"Sebenarnya kita usahakan seiman, tetapi jika sampai terjadi ada yang beda ya kita upayakan agar pernikahan itu tetap berlangsung. Karena ini ada jodoh karma yang kuat dan dalam," kata pengurus Walubi, Suhadi Sendjaja, saat memberikan keterangan dalam sidang perkara pengujian Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).

Karena itu, menurutnya permohonan peninjauan kembali Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 laik dipertimbangkan. Karena perkawinan bisa terjadi karena ada ikatan jodoh masa lampau yang kuat sehingga saat terjadi perbedaan keimanan, perkawinan tidak harus dihentikan.

Senada dengan Walubi, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) juga mendukung pengesahan perkawinan meski berbeda keyakinan. Pasal 2 Ayat 1 dinilai mengabaikan realitas warga negara Indonesia yang beraneka ragam latar belakang dan budaya. Serta melanggar hak asasi manusia.

"Karena itu pasal 2 ini telah megabaikan kenyataan mahwa manusia memiliki rasa cinta yang sifat unversal tidak mengenal warna kulit, keturunan maupun agama.

Meskipun beda agama bukanlah suatu yang ideal, tetapi perkawinan antara orang-orang yang beda suku ras dan agama bukanlah hal yang mustahil," kata Kuasa Hukum PGI Nikson Lalu.

Namun pandangan berbeda disampaikan oleh perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).meminta pemohon pengujian kembali Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan agar banyak-banyak membaca literatur tentang sejarah lahirnya aturan tersebut. Gugatan pemohon dinilai diajukan tanpa referensi yang jelas dan terlalu membesar-besarkan persoalan.

"Para pemohon seharusnya banyak-banyak membaca buku literatur tentang sejarah perumusan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1/1974. Pemohon sebagai kaum terpelajar saat mengajukan permohonan, harusnya tahu bahwa seluruh permohonannya sudah pernah dibahass panjang lebar sebelumnya," kata

Kuasa Hukum MUI, Luthfie Hakim, dalam sidang perkara pengujian Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).

Luthfie menjelaskan, UU Perkawinan dirumuskan melalui proses yang panjang selama bertahun-tahun. Pasal 2 Ayat 1 tentang sahnya merkwainan menurut hukum amsing-masing agama juga disepakati setelah melewati perdebatan yang sangat panjang.

Pengurus PBNU Ahmad Ishomuddin mengatakan, pernikahan tidak hanya dipertanggungjawabkan di depan manusia. Tetapi juga di depan Tuhan Yang Maha Esa.

Karena itu, pernikahan menurutnya tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Soal pernikahan campuran dalam Islam, Ahmad mengatakan ada tiga pendapat ulama yang berbeda.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement