Kamis 13 Nov 2014 13:55 WIB

MUI Tolak Penghapusan Kolom Agama di KTP

Polemik E-KTP (ilustrasi)
Polemik E-KTP (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Islam (MUI) menolak penghapusan kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP), karena kolom itu menilai penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Kami memutuskan menolak rencana atau gagasan penghapusan kolom agama pada KTP," kata Ketua Bidang Ukhuwah Islamiyah MUI Umar Shihab usai memimpin rapat terkait permasalahan tersebut di Kantor MUI, Jakarta, Kamis (13/11).

MUI juga menolak rencana agama lain, selain yang diakui di Indonesia ditulis dalam kolom agama di KTP. Selain itu, aliran kepercayaan juga tidak boleh ditulis pada KTP.

Agama yang diakui di Indonesia berdasarkan UU Nomor 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan adalah Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu.

Gagasan itu penghapusan ataupun penambahan agama lain pada KTP berpotensi merugikan bangsa dan negara, karena dapat menimbulkan polemik.

"Ketentuan itu sudah relevan, aspiratif dan akomodatif, jadi harus dilaksanakan. Itu sikap umat Islam dalam menanggapi permasalahan ini," ujar Umar Shihab.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin menambahkan penulisan nama agama pada kolom KTP merupakan salah satu identitas pribadi, yang dilindungi UU Nomor 24/2013. Karena itu, setiap warga negara yang memiliki agama sesuai dengan ketentuan tersebut, wajib mencantumkannya di dalam kolom KTP.

"Kalau seseorang memiliki agama di luar enam agama yang diakui di Indonesia, maka kolom agama di KTP dikosongkan, namun tercatat dalam administrasi kependudukan," katanya.

Dia menegaskan UU Nomor 24/2013 harus dipertahankan. Aliran kepercayaan bukan agama sehingga tidak boleh ditulis pada kolom agama di KTP.

"Kami akan sampaikan keputusan ini kepada pemerintah," katanya.

sumber : antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement