REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, Senin (17/11). Kebijakan ini dinilai bentuk ingkar janji Jokowi karena bertentangan dengan janji ketika kampanye untuk memberantas mafia migas.
"Dulu janji bukan menaikkan BBM tapi memberantas mafia migas," kata Wakik Sekjen Partai Demokrat Ramadhan Pohan saat dihubungi Republika, Selasa (18/11).
Ramadhan mengatakan, kenaikan BBM ini merupakan kado pahit bagi rakyat setelah pulang lawatan ke luar negeri. Dia menilai, Jokowi telah kehilangan sensitifitas terhadap rakyat.
Menurutnya, Jokowi terlalu terburu-buru dalam menaikkan harga BBM. Pengambilan keputusan tersebut tidak dibarengi dengan persiapan matang dalam mengantisipasi kenaikan yang mengakibatkan dampak langsung terhadap rakyat.
Dia mengatakan, perbedaan kenaikan BBM antara zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan sekarang adalah pada antisipasi dampak terhadap rakyat miskin. Ketika zaman SBY, kata dia, berbagai program disiapkan untuk melindungi rakyat miskin yang terkena dampak langsung kenaikan BBM.
Dia mencontohkan, bantuan langsung tunai (BLT), beasiswa untuk rakyat miskin, program keluarga harapan dan yang lain telah disiapkan matang sebelum harga BBM dinaikkan.
"Sekarang apa, KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan KIP (Kartu Indonesia Pintar) saja belum jelas," ujarnya.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi resmi mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga premium yang semula Rp 6.500 mengalami kenaikan menjadi Rp 8.500. Sementara harga solar yang semula Rp 5.500 menjadi Rp 7.500.