REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan pelecehan seksual di Jakarta International School (JIS) kembali digelar untuk keenam kalinya. Pengacara terdakwa kasus dugaan pelecehan seksual di JIS, Patra M Zen tetap menilai tidak pernah ada kasus kejahatan seksual di sekolah tersebut.
Dalam sidang yang digelar secara tertutup untuk keenam kalinya, menghadirkan Kepala Bidang Facilities Development JIS, Robert Giannella sebagai saksi.
Patra M. Zen, pengacara Virgiawan Amin dan Agun Iskandar mengungkapkan, dalam kesaksiannya Robert mengaku bertemu keluarga Kroonen pada 26 Maret 2014 sore hari bersama dengan David, Risk Management Operations Manager JIS.
Ketika bertemu dengan Pipit dan pengacara keluarga, Robert menjelaskan bahwa pengacara Pipit tersebut sangat agresif untuk membuat JIS menahan para tersangka.
"Robert tadi mengaku dia tidak punya kewenangan untuk menahan, karena bukan otoritas hukum. Itu kewenangan polisi. Namun, pengacara keluarga Kroonen justru mengaku bahwa polisi tidak akan mengurusi kasus ini karena kurangnya bukti. Dari keterangan Robert jelas terbuki keterangan pelapor memang selalu berubah sejak awal," jelasnya, Rabu (19/11).
Hal ini dikukuhkan dengan kesaksian Robert selanjutnya mengenai kedatangan Ibu Pipit dan MAK ke sekolah dan ke tempat dituduhkannya terjadi perkara. Dalam kesempatan tersebut, Robert melihat Ibu tersebut mengarahkan anaknya sebelum proses penyidikan polisi. Sedangkan si anak tidak terlihat trauma ketika mendatangi toilet tempat diduga terjadi perkara.
Dalam keterangannya yang lain, Robert juga menyebutkan bahwa toilet anggrek, yang diduga jadi tempat kejadian perkara, merupakan lokasi yang ramai dengan aktivitas anak-anak. Di depan toilet banyak kursi tempat anak-anak dan orangtua mereka makan snack di waktu istirahat.
Selain itu, Patra M Zen mengatakan berdasarkan keterangan dari saksi ahli mikrobiologi Universitas Oxford, John Kevin Baird, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh SOS Medika dan tes visum oleh RSPI tidak pernah terjadi pelecehan seksual atas korban AK.
"Selain itu penggunaan hasil tes anti-SV2 tidak bisa dibenarkan bahkan dilarang oleh PBB karena tidak cukup kuat untuk menjadi alat bukti," katanya.
Anti-SV2 merupakan tes yang digunakan untuk mendeteksi apakah seseorang mengidap herpes genital. Sementara mengenai hasil visum RSPI yaitu nanah yang ditemukan pada tubuh korban, John menjelaskan bahwa nanah tersebut bukan herpes dan bukan akibat akibat dari kejahatan seksual.
Dalam sidang tertutup yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim M. Yunus itu, ia pun mengatakan bahwa herpes merupakan penyakit umum yang menyerang 20-25 persen penduduk Indonesia, dan penyebabnya tidak selalu melalui hubungan seksual.
Sidang lanjutan akan dilaksanakan pada 26 November mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli. "Kami masih punya ahli forensik, ahli perlindungan anak, psikolog, psikiater, dan ahli pidana," ucapnya.