REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Joko Santoso (52) terpaksa berhenti menjadi guru, lantaran gaji yang diterimanya tidak mencukupi untuk menutupi keperluan rumah tangga.
Padahal, aku Joko, profesi guru dinilainya mulia dan sangat terhormat. "Tapi mau bagaimana lagi, gaji saya ketika itu hanya Rp 18.000 per bulan,'' jelasnya kepada Republika, Selasa (25/11).
Tamatan D2 Keguruan pada Sebuah Perguruan Tinggi di Nganjuk, Jawa Timur ini mengungkapkan, sementara harus menanggung biaya hidup keluarga yang cukup besar.
Beban hidup yang berat itulah, kata Joko, memaksa dirinya berenti jadi guru dan kemudian pindah ke Bali untuk mencoba pekerjaan baru.
Menurut Joko, saat pindah ke Bali awal 1980-an, dia menjadi sales makanan ringan dan hasilnya jauh lebih besar dari gaji yang didapat sebagai seorang guru. Terlebih lagi setelah mejadi sales sebuah perusahaan roti tutur Joko, penghasilannya berlipat-lipat.
Bahkan perusahaan tempat dia bekerja tidak mampu memenuhi permintaan toko atau pedagang pengecer. Dari sanalah kata Joko, muncul ide untuk memproduksi sendiri dan membuat pabrik roti.
"Alhamdulillah, sekarang sudah berkembang dan saya sudah punya pabrik roti sendiri," kata Joko, yang mempekerjakan puluhan karyawan di perusahaannya.
Menurut Joko, jika dia terus bertahan menjadi guru tanpa ada sumber penghasilan lain, tentunya tidak akan cukup mebiayai keperluan keluarga.
Begitu juga kalau hanya menjadi sales atau karyawan di perusahaan lain, dia mengaku akan sulit berkembang.
Dari pengalamannya itu, jelas Joko, para guru mesti berani mengambil keputusan dalam hidupnya. Kalau memang harus bertahan menjadi guru, sementara di tempat mengajar hasilnya tidak mencukupi, maka harus punya sumber penghasilan lain.
"Jangan sampai ada imej kalau jadi guru harus melarat dan hidup susah. Guru juga berhak mendapatkan penghidupan yang layak," katanya.