Jumat 05 Dec 2014 16:00 WIB

Kementerian Hukum akan Buka Program S-1 Lapas

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan membuka program pendidikan sarjana satu (S-1) di lembaga pemasyarakatan (lapas), bukan program magister bagi narapidana korupsi seperti yang kini berlangsung di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

"Yang S-1 inilah dulu. Khusus soal yang di Sukamiskin, bukan itu yang dimau," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di Jakarta, Jumat.

Dewasa ini 23 narapidana perkara korupsi dan 8 karyawan lapas mengikuti program Pascasarjana Ilmu Hukum yang digelar Universitas Pasundan di Lapas Sukamiskin, Bandung.

Para terpidana kasus korupsi yang mendekam di lapas tersebut misalnya Muhammad Nazaruddin, Luthfi Hasan Ishaaq, Rudi Rubiandini, Ahmad Fathanah hingga Adrian Waworuntu.

"Saya sudah suruh (program S-2) diberhentikan. Itu 'kan program yang lama. Saya bilang di-'review' untuk tujuan kita bukan yang itu karena mereka kan sudah S-1.

Kemudian kalaupun keluar dari situ sudah 'settled' dia, yang justru kita bantu 'kan anak muda potensial. Masa depan suram tapi tamat SMA, kalaupun ada tamat SMA, bia 'nggak; mengikuti kuliah?" ungkap Yasonna.

Ia menegaskan bahwa program S-2 untuk para koruptor tersebut resmi tidak diberlakukan lagi.

"Saya sudah minta di-'review' dan itu pasti sih tidak bisa lagi. Pesan saya kemarin, tidak," tambah Yasonna.

Sedangkan untuk program S-1 di lapas rencananya akan dilangsungkan pada Februari 2015.

"Kalau sudah semuanya 'set', rencana kita bulan Februari masuk kuliah. Saya sudah ketemu rekan dari 3 fakultas, dengan 3 rektor dari UKI (Universitas Kristen Indonesia), Trisakti, dan Tarumanegara," kata Yasonna.

Namun Yasonna belum memutuskan jurusan apa saja yang akan dibuka di lapas.

"(Jurusan) sesuai dengan kerja sama kita dengan universitas itu. Kalau teknik 'nggak' mungkin karena urusan laboratorium," ungkap Yasonna.

Pembukaan kuliah untuk S1 tersebut berdasarkan pertimbangan banyaknya narapidana usia muda namun dipenjara karena kejahatan-kejahatan yang di luar keinginannya.

"Ada yang (dipenjara) 10 tahun, 8 tahun, 5 tahun bagaimana kalau mereka itu kita beri kesempatan, karena dalam UU Pemasyarakatan, warga binaan itu punya hak untuk pendidikan dan pekerjaan," jelas Yasonna.

Sedangkan bagi perguruan tinggi yang mengirimkan tenaga pengajar ke lapas, artinya mengamalkan Tridharma Perguruan Tinggi.

"Kalau nanti sudah keluar dari sini, misalnya 4 semester keluar dia, dia bisa langsung masuk kampus untuk menyelesaikan kuliah karena nilainya ditransfer," tambah Yasonna.

Jumlah narapidana yang akan menjalani kuliah di setiap lapas sekitar 30-35 orang.

"Jadi kita kasih sana 30 orang. Cipinang 35 orang, Pondok Bambu 35 orang, Salemba 30 orang. Tapi disortir benar-benar orang yang memang kita lihat kejahatannnya seperti apa, apakah mampu menyelesaikan kuliah?" ungkap Yasonna.

Terkait masalah pendanaan, Yasonna mengaku sedang berkoordinasi dengan Menteri BUMN mencarikan dana "corporate social responsibility" (CSR) BUMN untuk program tersebut. Selain itu, ia juga mengusulkan kepada Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset Teknologi untuk mencarikan beasiswa bagi narapidana.

"Jadi kalau dia keluar penjara kita buat orang ini jadi manusia yang baik, yang taat hukum sehingga merasa berutang kepada negara, disekolahkan hingga tamat," ungkap Yasonna.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement