REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus didesak untuk segera membentuk pengadilan Ad Hoc untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Namun, Pemerintah seperti kehilangan akal karena pengajuan pembentukan pengadilan Ad Hoc selalu ditolak oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPR RI).
Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham), Yasonna H. Laoly menegaskan, pembentukan pengadilan Ad Hoc membutuhkan keputusan politik DPR. Menurutnya, tanpa keputusan politik DPR, mustahil membuat pengadilan Ad Hoc untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Dua kali Pemerintah sudah mengajukan pembentukan pengadilan Ad Hoc ini pada DPR, tapi tidak pernah disetujui.
"Tidak mungkin bentuk pengadilan Ad Hoc ini tanpa keputusan politik di DPR," kata dia usai membuka rangkaian peringatan hari HAM di Jakarta, Rabu (10/12).
Pengajuan pembentukan pengadilan Ad Hoc pernah dilakukan Pemerintah pada periode 1999-2004 lalu. Saat itu, usulan pembentukan pengadilan Ad Hoc sudah dibawa ke sidang paripurna DPR. Namun, di sidang paripurna, usulan pembentukan pengadilan Ad Hoc tidak disetujui oleh anggota DPR RI.
Pemerintah masih berupaya agar pengadilan Ad Hoc dibentuk dengan mengajukan kembali pada DPR periode 2004-2009. Lagi-lagi, usulan pembentukan pengadilan Ad Hoc mental dan tidak disetujui. Bahkan, usulan ini tidak disetujui sejak di rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
Laoly menambahkan, pengajuan pembentukan pengadilan Ad Hoc kedua sudah disepakati di komisi III, namun di Bamus, usulan ini ditolak. Saat itu, imbuh mantan anggota DPR RI ini, sebanyak 4 fraksi mendukung adanya pengadilan Ad Hoc, tapi 6 fraksi lainnya menolak.
Laoly enggan membeberkan alasan serta fraksi mana saja yang menolak usulan pembentukan pengadilan Ad Hoc ini.
"Sudah dua kali dicoba, tapi tidak berhasil," imbuh Laoly.
Pemerintah saat ini sedang mengupayakan cara lain untuk tetap menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Yaitu dengan menginisiasi disahkannya Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR).