REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi penyanderaan terjadi baru-baru di Sydney, Australia. Seorang pria berusia sekira 40 tahun masuk ke dalam Kafe Lynd di kawasan Martin Place di kota tersebut. Dengan membawa senjata api, pria yang hingga kini belum diketahui identitasnya itu mengintimidasi sejumlah pengunjung kafe tersebut. Diperkirakan ada sekitar 40 orang yang menjadi sandera.
Yang mengejutkan, pria ini sempat memaksa beberapa sandera untuk menampilkan bendera berwarna hitam bertuliskan kalimat syahadat “La ilaha Illa Allah.” Masih belum diketahui pasti, apa motif pria ini melakukan hal tersebut. Namun, kuat dugaan, aksinya merupakan bagian dari ISIS atau gerakan ekstremis lainnya yang kerap mengatasnamakan Islam.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, berpendapat, aksi ini merupakan bentuk kekerasan yang dapat dianggap sebagai terorisme. Dihubungi //Republika//, berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda melihat aksi penyanderaan di Sydney, Australia, yang terjadi hari ini (15/12)?
Pertama-tama, kita mengecam keras aksi kekerasan berupa penyanderaan terhadap orang-orang tak berdosa ini. Apa pun motifnya, perbuatan pelaku tidak mungkin ditoleransi. Apalagi, dia sampai membawa-bawa simbol agama Islam (bendera “La ilaha illa Allah”). Ini berbahaya karena bisa menyulut pemahaman yang salah.. Karenanya, kita minta semua pihak agar tidak perlu menghubung-hubungkan aksi ini dengan Islam. Kekerasan dalam bentuk apa pun merupakan musuh bersama. Semua agama mengecamnya. Yang jelas, terlebih dahulu perlu pengusutan secara mendalam oleh aparat keamanan Australia terkait motif pelaku.
Sempat ada yang merekam, pelaku memaksa sejumlah sandera menampilkan bendera “La ilaha illa Allah” berlatar warna hitam. Menurut Anda?
Kita tahu, lambang bendera itu sering dikaitkan dengan kelompok kekerasan, terutama ISIS. Memang, kelompok ekstremis itu memakai identitas bendera demikian serta menyebarluaskannya dalam setiap aksi kekerasan yang mereka kerjakan. Saya kira, bila dikaitkan dengan penyanderaan ini, lebih tepat kita menunggu keterangan resmi dari kepolisian Australia. Kita tidak bisa berspekulasi terlalu jauh. Meskipun jelas pelaku beraksi seorang diri.
Hanya saja, perlu ditekankan, pemaksaan dalam bentuk apa pun tidak bisa dibenarkan. Penyanderaan di Sydney ini termasuk aksi terorisme. Dan terorisme tidak lain merupakan musuh semua umat maupun bangsa. Meredam aksi terorisme adalah agenda kita bersama.
Kenapa seakan-akan terorisme identik dengan simbol Islam?
Ini yang mesti cepat diklarifikasi. Memang, istilah terorisme sendiri dimulai secara salah oleh Barat. Dalam hal ini, Presiden Amerika Serikat, George W Bush. Dia cenderung melakukan generalisasi terhadap terorisme serta membawa-bawa sentimen keagamaan. Apalagi, hal ini ditunjang pula oleh pemberitaan yang berat sebelah dari banyak pers. Berita seperti itu kerap mengidentikkan simbol agama tertentu, termasuk Islam, sebagai pendukung aksi kekerasan. Justru itu tidak melemahkan terorisme. Sebab, teroris merasa mendapat dukungan dari ajaran Tuhan.
Apakah kejadian di Australia ini akan berdampak bagi Indonesia?
Jelas. Kita mesti mewaspadai. Minimal, dengan dua cara. Pertama, kita tempatkan terorisme sebagai masalah bersama. Lintas agama maupun bangsa. Sehingga penangkalannya lebih mengedepankan kerja sama yang solid. Kedua, jangan lagi kaitkan terorisme dengan atibut-atribut keagamaan. Apalagi untuk Indonesia. Kita sudah banyak mendapat mala dan korban jiwa yang tidak sedikit. Tentunya, kita tidak ingin kejadian seperti di Bali atau JW Marriot (Jakarta) terulang.